SURABAYA – beritalima com, Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak resmi melayangkan kasasi atas vonis bebas Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada kasus dugaan pemalsuan surat perjanjian hutang dana kepontren Assyadziliyah sebesar Rp 648 juta atas nama terdakwa Zainal Adym SH. Kasasi itu diajukan pada Kamis 8 September 2022.
“Tanggal 8 kemarin,” kata kasipidum Kejari Tanjung Perak, Hamonangan P. Sidauruk saat dikonfirmasi. Rabu (14/9/2022).
Menyikapi perlawanan kasasi yang dilakukan Kejari Tanjung Perak tersebut, Pengacara korban Zainal Adym, Ronald Talaway memberikan apresiasinya. Menurut Ronald, Mahkamah Agung bisa mengadili ulang putusan bebas yang dijatuhkan kepada terdakwa Zainal Adym.
“Saya mengapresiasi, Mahkamah Agung (MA) bisa menilai ulang atau mengadili ulang putusan bebas yang dijatuhkan kepada Zainal Adym,” ungkap pengacara korban pemalsuan surat perjanjian hutang pemakaian dana kepontren Assyadziliyah, Ronald Talaway dari kantor hukum Pieter Talaway & Associates di Surabaya.
Dikatakan Ronald, banyak hal yang perlu dipertimbangkan oleh majelis hakim terkait putusan dengan beban pembuktian dimana terdakwa Zainal Adym ini menunjukan KTP Soebiantoro versinya saja tidak bisa. Apalagi menunjukkan ada tidak alur uangnya.
Terus sambung Ronald, Zainal Adym bilang itu dana koperasi pondok pesantren, padahal dia sendiri tidak bisa menunjukkan kas koperasinya. Ingat, uang Rp 648 juta itu uang besar lho tahun 1997 sebelum krisis moneter sangat besar. Sangat aneh rasanya kalau tidak bisa ditunjukkan perpindahan uangnya.
“Yang menjadi pertanyaan kalau itu benar-benar uang koperasi, gampang kok. Ketika orang ada jaminan diletakan saja Hak Tanggungan (HT) tapi ini kan tidak. Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No 221 yang dijaminkan tersebut kan sudah Mati. Bahkan sudah terbit SHGB yang baru nomor 50,” sambungnya.
Menurut Ronald, banyak hal dalam surat itu yang bisa disebut palsu. Surat perjanjian itu, obyeknya itu. Jadi tandas Ronald bukan sekedar hanya tanda tangan yang dipalsukan.
“Kalau hakim berfikir bahwa tanda tangan tidak diuji melalui laboratorium forensik, kan memang peristiwa hukumnya orang yang dianggap menandatangani yang dianggap sebagai pemilik obyek tanah dan bangunan di Jalan Prapanca No 29 ini kan sudah meninggal dunia. Gimana bisa dilabforkan,” tandasnya.
Ronald meyakini majelis hakim MA selaku hakim-hakim yang memeriksa hukum (Judex Juris) memiliki kemampuan untuk mengadili ulang dan mempertimbangkan putusan bebas hakim PN Surabaya tersebut
Terkait Bambang Sumi Ikwanto, Ronald menyatakan ada putusan sebagai ahli waris. Masak hakim meragukan penetapan pengadilan Bambang itu ada penetapan Pengadilan Agama nomor 1405/Pdt.B.I/1990 tanggal 25 September 1990 dan sampai sekarang tidak ada perubahan.
Satu hal yang tidak bisa dibuktikan itu kan siapa sosok Soebiantoro ini. Soebiantoro versinya terdakwa Zainal Adym itu mana,? Dia harus bisa buktikan bahwa perjanjian pemakaian dana kepontren ini tidak fiktif. Ada orangnya, ada uangnya, uangnya juga beralih, mana?
“Ini loh koperasinya saja tidak terdaftar. Dinas koperasi kan sudah diperiksa baik propinsi maupun kita. Bahkan ahli waris pondok pesantren yang di Blitar menyatakan koperasi ini bukan koperasi simpan pinjam. Koperasi Ponpes itu tidak melayani simpan pinjam lho,” terangnya.
Sebenarnya pungkas Ronald, banyak hal yang perlu dipertimbangkan oleh majelis.
“Majelis hakim tidak serta merta ini divonis bebas karena jaksa tidak bisa membuktikan tanda tangan pembanding Soebiantoro karena tidak ada labfor. Itu alasan klise kalau saya bilang justru belum berdasarkan fakta hukum yang lengkap yang perlu dinilai secara keseluruhan,” pungkas Ronald Talaway.
Diketahui, dugaan pemalsuan surat ini bermula ketika terdakwa Zainal Adym membuat surat pengakuan hutang atau pemakaian dana kopontren tanggal 17 Juli 1996 perihal perjanjian penggunaan dana kopontren “Assyadziliyah” dalam tempo satu tahun sampai tanggal 17 Juli 1997.
Dalam perjanjian itu, terdakwa Zainal Adym menjaminkan SHBG No 221 dengan obyek tanah dan bangunan yang terletak di Jl Prapanca No 29 Surabaya yang ditandatangani oleh terdakwa sebagai yang menerima perjanjian, yang seolah-olah ditandatangani oleh Soebiantoro sebagai yang membuat perjanjian dan disetujui oleh K.H. Achmad Djaelani sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Assyadziliyah, padahal Soebiantoro telah meninggal sejak 22 Januari 1989.
Surat perjanjian itu selanjutnya digunakan oleh terdakwa Zainal Adym untuk melakukan gugatan ke PN Surabaya dengan perkara No 211/Pdt.G/2016/PN.Sby tanggal 04 Maret 2016 dan berujung pada eksekusi, padahal objek tanah dan bangunan tersebut telah dijual oleh ahli waris Soebiantoro ke Ferry Widargo pada tahun 2005.
Mengetahui hal itu, Bambang Sumi Ikwanto akhirnya membawa perkara dugaan pemalsuan surat tersebut ke ranah hukum. Oleh JPU, terdakwa Zainal Adym didakwa dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP dan diputus bebas oleh Majelis Hakim PN Surabaya yang diketuai Dewantoro pada Senin 5 September 2022.
Majelis hakim dalam salah satu pertimbangannya, menyatakan bahwa surat perjanjian hutang pemakaian dana kepontren sebesar Rp 684 juta atas nama Zainal Adym SH tanggal 17 Juli 1996 yang diduga dipalsukan tersebut, ternyata dalam sidang pemeriksaan jaksa tidak dapat memperlihatkan pembanding tanda tangan Soebiantoro tersebut, juga tidak ada bukti laboratorium forensik dari pihak Kepolisian Republik Indonesia.
“Dan kalau diteliti lebih dalam lagi, mengapa saksi pelapor Bambang Suki Iwantoro dan saksi korban Feri Widargo yang pada saat itu menjadi pihak dalam perkara gugatan perlawanan tidak mengajukan bukti tentang tanda tangan Soebiantoro. Karena Surat penetapan kematian Soebiantoro itu terbit setelah perkara perdatanya kalah,” papar hakim Dewantoro. (Han)