JAKARTA, Beritalima.com– Kekerasan terhadap anak meningkat di tengah wabah pandemi virus Corona (Covid-19). Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, hingga Agustus 2020, sekitar 3000 pengaduan kekerasan yang dilakukan orang tua atau keluarga terhadap anak. Jumlah itu kemungkinan lebih besar mengingat banyak pihak yang tidak melaporkannya.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dr Hj Hetifah Sjaifudian kepada awak media mengungkapkan, salah satu alasan diperbolehkannya pembukaan sekolah di beberapa daerah untuk menekan angka kekerasan terhadap anak sebagai genarsi penerus bangsa.
“Hal tersebut menjadi bagian dari pertimbangan karena kami dari Komisi X DPR RI terkejut mengenai banyaknya permintaan pembukaan sekolah, bukan hanya dari orangtua dan guru tetapi juga siswa. Ternyata, banyak dari mereka yang juga tidak nyaman berada di rumah,” ungkap politisi senior Partai Golkar itu.
Ditegaskan, tidak semua rumah dan keluarga dapat memberikan suasana yang kondusif bagi anak. “Selain korban kekerasan fisik, ada juga yang mengalami tekanan psikologis. Misalnya mereka yang orangtuanya mengalami kesulitan ekonomi, atau stres karena harus mengajarkan anaknya pelajaran sekolah. Tekanan-tekanan ini tak jarang dilampiaskan kepada anak dan mempengaruhi mental mereka.”
Hetifah yang juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar bidang Kesra itu mengatakan, sudah saatnya Pemerintah menanggapi kekerasan terhadap anak ini secara serius. “Kemendikbud, Kemen Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), KPAI, dan lembaga terkait harus bersinergi untuk membuat sistem pemantauan yang terintegrasi. Gencarkan program yang mendorong warga untuk melapor jika menemukan kasus, dan pastikan setiap kasus terlacak dan tertanganI,” pinta Hetifah.
Wakil rakyat dari Provinsi Kalimantan Timur itu juga meminta Pemerintah melibatkan beberapa pihak di lapangan untuk melacak kejadian tersebut. Contoh, guru dapat menjadi pihak sentral yang diarahkan untuk selalu mengecek kondisi siswa dan keluarganya. “Selain itu, petugas RT/RW, Karang Taruna, Ibu-Ibu PKK, juga dapat diberdayakan,” demikian Dr Hj Hetifah Sjaifudian. (akhir)