Catatan: Yousri Nur Raja Agam. MH
Kendati Partai Golkar “dianggap sakti”, bukan berarti Partai Golkar berjalan lancar dan indah. Tidak seperti yang terlihat di permukaan.
Karena, dari Partai Golkar ini banyak dilahirkan ahli politik atau politikus, maka di dalamnya terjadi “perebutan kursi”. Kenyataan ini, terlihat saat menjelang Munas (Musyawarah Nasional), yaitu saat pemilihan Ketua Umum yang baru, beserta kabinet atau susunan pengurus DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Partai Golkar.
Munas Partai Golkar ini, tidak jarang diibaratkan sebagai “ibu yang hamil tua”. Berulangkali terjadi pertikaian dan ketidakcocokan dalam pemilihan calon pengganti ketua umum. Uniknya pertikaian di dalam organisasi Partai Golkar itu, tidak mengganggu jalannya hasil Munas. Justru para petinggi yang semula diunggulkan, tetapi tersisih, mereka “mengalah”. Lalu, mendirikan Partai Politik Baru.
Dalam pemberitaan mediamassa setiap menjelang Munas Partai Golkar, terjadi kericuhan. Bagi “orang Golkar”, kericuhan itu dianggap sebagai hal biasa. “Itulah politik!”, ujar beberapa senior Partai Golkar. Berita kericuhan menjelang dan selama berlangsungnya Munas itu, adalah politik informasi. Ini sama halnya dengan “iklan gratis” yang tidak perlu kami bayar, misalnya seperti yang sering diucapkan HM Ridwan Hisjam, anggota DPR RI dari Jawa Timur.
Memang, kenyataannya sengketa itu berdampak perpecahan. Kemudian, perpecahan itu sampai melahirkan “partai politik baru”. Inilah kenyataan dari kemelut di tubuh Golkar atau Partai Golkar yang sudah empat kali melahirkan “bayi Parpol baru”. Yang pertama: PKP yang menjadi PKPI, yang kedua: Partai Hanura, yang ketiga: Partai Gerindra dan yang keempat: Partai Nasdem.
Ada satu lagi, tetapi tidak termasuk yang lahir langsung, tetapi ada “darah” yang mengalir di tubuh Partai Politik itu, yakni: Partai Berkarya. Partai yang didirikan mantan tokoh Partai Golkar Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, putra mantan Presiden Soeharto.
Kita masih ingat, saat Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa) Golkar di awal era reformasi, Juli 1998, berakhir ricuh. Gara-gara Edi Sudradjat dikalahkan oleh Akbar Tandjung. Edi yang mantan Menhankam (Menteri Pertahanan dan Keamanan) itu kecewa berat. Bersama pendukungnya, Edi Sudradjat hengkang dari Golkar. Mereka, yakni : Sarwono, Siswono,
Hayono Isman, David Napitupulu dan beberapa politikus nasional lainnya. Mereka membelot dari Golkar dan mendirikan GKPB (Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa). Dari gerakan ini, lalu lahirlah partai baru PKP (Partai Keadilan dan Persatuan) yang dideklarasikan 15 Januari 1999.
Tahun 2004, Wiranto sebagai pemenang Konvensi Calon Presiden dari Partai Golkar, kecewa berat. Ini disebabkan JK (Jusuf Kalla), mantan Ketua Umum Partai Golkar berpasangan dengan dengan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Padahal sebelumnya, JK berpasangan dengan Wiranto (JK-Win).
Nah, kekecewaan Wiranto itu, menghasilkan kelahiran anak ke dua Golkar yang diberi nama Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) tahun 2006.
Hal yang sama juga dirasakan Prabowo Subianto yang juga pernah ikut konvensi Capres Partai Golkar 2004 itu. Para pendukung Prabowo bergerak cepat menghimpun kekuatan. Buahnya, melahirkan partai sempalan Golkar yang ke tiga setelah PKP dan Hanura, yakni Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Usai Munas Partai Golkar 2009 di Riau, terjadi perpecahan. Merasa dipecundangi oleh kader-kader Partai Golkar di berbagai daerah, Surya Paloh yang menjadi kandidat ketua umum kalah melawan Aburizal Bakrie alias Ical. Tahun 2010, pria asal Aceh yang senang memelihara jambang dan jenggot itu, mendirikan Organisasi Massa (Ormas) Nasional Demokrat (Nasdem). Inilah embrio Partai Nasdem yang berdiri tahun 2010 sebagai bayi ke empat dari benih Partai Golkar.
Sebenarnya, ada satu lagi Parpol baru yang sudah dalam kandungan “ibu Partai Golkar yang hamil tua”, tidak jadi lahir. Berhasil digugurkan. Saat itu, mendekati berakhirnya masabakti 2010-2015 kepengurusan yang dipimpin Abu Rizal Bakri (ARB) alias Ical. Rencananya, Munas diselenggarakan di Bali pertangahan 2015. Munas itu, ternyata menimbulkan perpecahan sebelum pelaksanaan. Agung Laksono bersama kelompoknya, menyelenggarakan Munas tandingan di Ancol, Jakarta. Adanya dua Munas ini mengakibatkan sengketa hukum formal di pengadilan – mulai PTUN, Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung, serta Keputusan Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM.
Para senior Golkar turun gunung, seperti Akbar Tandjung, BJ Habibie dan Jusuf Kalla. Sepakat akan menyelenggarakan Munaslub, satu dua bulan mendatang. Sikap Aburizal Bakrie dan Agung Laksono kelihatan cukup dewasa. Mereka berdua seolah-olah setuju, sama-sama tidak maju lagi dalam Munaslub nanti. Kesepakatan tak tertulis menyebut regenerasi, menyerahkan kepemimpinan Partai Golkar kepada kader muda.
Namun, di tengah suara damai itu, mencuat pemberitaan yang memanaskan situasi. Ada kelompok yang menamakan diri gabungan unsur DPD (Dewan Pimpinan Daerah) Partai Golkar dari berbagai daerah di Indonesia. Di samping mengklaim sebagai kubu Munas Ancol, kelompok ini menyatakan akan memisahkan diri dari Partai Golkar. Mereka yang menyebut berasal dari 520 DPD se Indonesia dan akan membentuk partai baru bernama: Partai Golkar Indonesia.Kendati ada yang menyatakan pembentukan partai baru ini hanya bentuk manuver. Gertak sambal antarkubu jangan pula dipandang sebelah mata. Walaupun, gerakan yang disebut melibatkan 520 DPD se Indonesia itu itu tidak muncul ke permukaan, bisa saja ada “gerakan bawah tanah”.
Perseteruan antara kubu Munas Bali dengan Munas Ancol, masih menyimpan dendam kesumat di antara yang “mati-matian” berjuang mempertahankan “kebenaran” dari hasil Munas yang mereka ikuti. Ada barisan “sakit hati”. Kita tahu, Partai Golkar adalah “tempat berguru” kader-kader politik tanahair. Apa pun partainya, masih mengakui bahwa kader bangsa terbaik saat ini, masih yang berasal dari kandungan Orde Baru itu.
Sejarah lahirnya Parpol-parpol baru, tidak lepas dari “antre panjang” para kader Golkar. Sehingga mereka mendirikan partai baru. Jadi, keberadaan kemelut di Golkar atau Partai Golkar yang diibaratkan ibu yang hamil itu, bisa saja melahirkan bayi yang ke lima dari Golkar. Kalau yang disebut Partai Golkar Indonesia (PGI) itu sudah digugurkan. Bukan tidak mungkin suatu saat ibu hamil dari Partai Golkar bakal melahirkan Parpol baru lagi.
Contoh yang bisa dilihat adalah, Partai Berkarya. Walaupun dinyatakan lahir bukan akibat kemelut Munas Partai Golkar, tetapi “darah yang mengalir” di Partai Berkarya ini masih dari Golkar. Sebab, menurut Tommy sendiri, kelahiran Partai Berkarya tidak ada kaitannya dengan Golkar atau Partai Golkar. Tetapi diakui, sebagian besar anggota Partai Berkarya pernah “berguru” di Golkar. Partai Berkarya merupakan penggabungan dari Partai Nasional Republik dan Partai Beringin Karya yang sudah ada sebelumnya.
Partai Berkarya bukan lahir dari “perut” ibu yang bernama Golkar atau Partai Golkar. Berbeda dengan PKP yang kemudian menjadi PKPI, Partai Hanura, Partai Gerindra dan Partai Nasdem.
Nah, hari ini 20 Oktober 2020, di saat usia saya Yousri Nur Raja Agam yang dilahirkan 20 Oktober 1950 genap 70 tahun. Bersamaan dengan Golkar yang kini bernama Partai Golkar berulang tahun ke 56 (20 Oktober 1964-20 Oktober 2020).
Dirgahayu dan Selamat kepada keluarga besar Partai Golkar yang memilih tema: “Kesehatan Pulih, Ekonomi Bangkit, Pilkada Menang.”
Begitu pula, Selamat untuk Pak Jokowi, di hari ini tepat menduduki masajabatan Presiden di tahun yang ke enam, 20 Oktober 2014- 20 Oktober 2020. (**)