Jakarta, beritalima.com| – Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif(Ekraf) bersama DPR bahas upaya untuk atasi praktik pembajakan digital sehingga ada potensi kerugian mencapai Rp 25-30 triliun setiap tahun bagi industri perfilman nasional.
“Kementerian Ekonomi Kreatif berkomitmen memperkuat ekosistem perfilman nasional melalui peningkatan akses distribusi, perlindungan hak cipta, pengembangan kapasitas pelaku, serta kemitraan yang sinergis antara industri film, platform digital, dan pemangku kepentingan lainnya untuk menciptakan ekosistem yang inklusif dan berdaya saing,” ujar Menteri Ekraf Teuku Riefky Harsya dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI di Jakarta (6/11).
Saat ini, Indonesia memiliki 496 bioskop dengan 2.375 layar di 37 provinsi. Jumlah ini mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya untuk terus mendekati angka kebutuhan ideal. Rasio layar per 100 ribu penduduk Indonesia mencapai 0,76, masih dalam upaya mendekati Thailand (1,7), Malaysia (3,6), dan Singapura (4,6).
Dan, dalam data Kementerian Ekraf, kontribusi ekonomi industri bioskop mencapai Rp14 triliun nilai investasi, dengan lebih dari 30 ribu lapangan kerja diciptakan setiap tahun. Sementara sektor produksi film sumbang sekitar Rp1,5 triliun per tahun dan berperan besar dalam memperkuat rantai nilai ekonomi kreatif.
“Ekosistem kreatif ini sejalan dengan misi Kementerian Ekonomi Kreatif, yaitu menekankan fungsi fasilitasi dalam proses komersialisasi karya kreatif. Oleh karena itu, fokus utama kami adalah mengkonversi karya menjadi nilai ekonomi, melalui dukungan dan fasilitasi terhadap komersialisasi karya film sebagai kekayaan intelektual yang bernilai ekonomi tinggi,” ujar Menteri Riefky didampingi Wakil Menteri Ekraf Irene Umar.
Dalam rapat tersebut, berbagai pihak inginkan langkah konkret tekan pembajakan digital melalui regulasi dan penegakan hukum yang lebih tegas. Sekretaris Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI), Judith J. Dipodiputro, akui perfilman merupakan industri strategis yang perlu mendapat dukungan lebih besar dari pemerintah dan DPR RI.
Ia mengungkapkan salah satu kendala utama adalah keterbatasan jumlah layar bioskop di daerah, sehingga diperlukan kebijakan yang mempermudah pembukaan jaringan bioskop di wilayah nonperkotaan. Selain itu, Judith menyerukan pentingnya pembentukan satuan tugas khusus penanganan pembajakan perfilman di bawah Kepolisian RI.
“Sebagai contoh, keberhasilan pembentukan satgas wildlife crime untuk perlindungan satwa, dan berharap pendekatan serupa bisa diterapkan pada penanganan pelanggaran hak cipta di industri film. Kami butuh dukungan penuh dari DPR dan pemerintah agar penegakan hukum terhadap pembajakan bisa dijalankan dengan serius,” paparnya.
Pimpinan rapat sekaligus Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga menegaskan, Komisi VII mendesak Menteri Ekraf untuk menindaklanjuti seluruh pandangan dan masukan yang telah disampaikan pimpinan dan anggota dewan. Ia menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan pelaku industri perfilman nasional dalam memproduksi karya yang berakar pada identitas budaya nasional dan lokal.
“Tujuan kita sama, visi kita juga sama, yaitu bagaimana perfilman Indonesia semakin sehat, lebih baik, dan bisa menjadi kebanggaan bangsa. Yang paling penting adalah bagaimana film dapat mendukung program pemerintah dengan muatan yang disukai masyarakat,” tutur Lamhot.
Berdasarkan data Asosiasi Video Streaming Indonesia (AVISI) dan Universitas Pelita Harapan (UPH), potensi kerugian akibat pembajakan film dan video daring diperkirakan Rp25–30 triliun setiap tahun. Kondisi ini tidak hanya merugikan produsen dan kreator, tetapi juga menghambat pertumbuhan industri secara keseluruhan.
Jurnalis: abri/rendy








