Kemesraan Yang (Nyaris) Hilang

  • Whatsapp

(Mengenang Kebersamaan Bersama Kemenag)
Oleh: Drs.H. Asmu’I Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)

“MASUK…..OUT….HORE…….!”, begitu sebagian contoh terikan dan yel-yel masing-masing suporter secara silih berganti pada pertandingan voley pagi itu. Pertandingan ini memang agak seru karena terjadi antara tim voley kantor Depag Kabupaten versus Pengadilan Agama yang nota bene menjadi ‘musuh’ bebuyutan. Tempik sorak itu nyaris terjadi sepanjang pertandingan berlangsung. Tampaknya, fanatisme masing-masing suporter tim pun tidak kalah dibanding suporter bonek kesebelasan Persebeya Surabaya. Gemuruh suara terikan gembira itu jelas semakin menambah suasana panas akibat terik matahari menjelang siang itu. Saat demkian saya sendiri nyaris lupa kalau sedang bertugas di daerah nan sepi di kota kecil salah satu ibu kota kabupaten di Nusa Tenggara Timur waktu itu. Rasanya lupa kampung halaman yang harus ditempuh dengan armada laut milik PT Pelni KM Kelimutu 3 hari 3 malam plus naik bus sejauh hamper 300 km.

Cuplikan peristiwa olah raga tersebut hanya salah satu bentuk kebersamaan antar dua kantor selevel milik Departemen Agama di Kabupaten (Kandep Agama Kabupaten/Kodya dan Pengadilan Agama ) waktu itu. Dua satuan kerja ini pada setiap menjelang akhir tahun memang selalu terlihat sibuk mempersiapkan diri untuk berulang tahun yang jatuh pada setiap tanggal 3 Januari. Gegap gempita dan suka cita persiapan hari bersejarah itu sering mewarnai 2 satker dengan beda tupoksi itu. Tidak jarang pula dalam suasana rapat antara 2 satker itu sering adu argumen mulai pembentukan panitia sampai kegiatan lomba dan upacara yang akan dilaksanakan. Biasanya suasana agak sedikit sensitif, saat sudah sampai ke level harus menentukan jatah kewajiban anggaran yang harus disetor oleh masing-masing satker. Akan tetapi pada akhirnya ulang tahun yang lazim disebut Hari Amal Bakti (HAB) itu dapat sukses terselenggara dengan segenap dinamikanya.

Kebersamaan itu tampaknya harus berakhir secara resmi pada tahun 2004, yaitu ketika secara resmi Penagdilan Agama harus berada di bawah satu atap Mahkmah Agung. Sebagai konsekuensi arus tuntutan reformasi yang salah satunya terciptanya independensi peradilan, pada tanggal 15 Januari 2004, diundangkanlah UU Nomor 4 Tahun 2004 tantang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Maksud dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan kehakiman yang tidak dicampuri oleh kekuasaan eksekutif atau kekuasaan ekstra yudisial dalam melaksanakan fungsi peradilan. Untuk menciptakan kekuasaan kehakiman dalam posisi “independen” tersebut, maka harus ada korelasi antara fungsi yudikatif/peradilan dan proses demokrasi, yang dalm hal ini pembentukan dan jaminan independensi atau kebebasan kekuasaan kehakiman seharusnya diciptakan secara aktif oleh semua sarjana hukum, polisi, kejaksaan dan penegak hukum lainnya. Dengan mewujudkan sistem satu atap (one roof system) diharapkan apa yang menjadi cita-cita hukum (rechtsidee) untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent) dalam rangka penegakan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Sama dengan Peradilan Umum yang dilepas dari Departemen Kehakiman, Pengadilan Agama yang hampir 60 tahun ‘diasuh’ Departemen Agama pun harus ikut lepas dari depertemen yang mengindukinya. Segera setelah itu hampir jarang ada pegawai Pengadilan Agama terlihat runtung-runtung dengan mantan mitranya sesama PNS di Depag. Perpisahan yang sebenarnya kehendak perubahan itu tampaknya membuat para pegawai itu secara personal, secara pelan tapi pasti, seolah tidak mau saling kenal. Perbedaan kesejahteraan dan tampilan gedung Pengadilan Agama yang berubah secara drastis, ikut andil memperparah ‘gap’ psikologis antar pagawai masing-masing instansi. Sebagian kawan Depag pun masih ada yang belum bisa melupakan adanya sejumlah ‘elite’ Peradilan Agama waktu itu. Ketika peradilan umum sudah secara jelas satu atap di bawah MA, ada beberapa elite PA yang membuat ‘resolusi’ kepada Menteri Agama (Prof. Malik Fajar) yang pada pokoknya, agar institusi Peradilan Agama sepenuhnya diurus oleh Mahkamah Agung, seperti Peradilan Umum.
Hampir semua orang tahu, latar belakang timnbulnya sikap ini memang dilandasi realitas yang sangat rasional. Pengadilan Agama yang besar dan ‘penyumbang dana’ terbesar keuangan departemen sering mendapat perlakuan yang konon tidak adil.

Satuan kerja dengan basis di setiap ibu kota kabupaten ini, hanya diurus oleh institusi dengan kualifikasi eselon II (setingkat kanwil). Sehingga, anggaran pun terasa sangat minim. Tampilan Ketua Pengadilan Agama waktu itu di beberapa daerah sering identik dengan Kepala Kantor Uurusan Agama Kecamatan. Karena tidak ada mobil dinas satu pun, seorang Ketua Pengadilan Agama memang harus sering nunut Kepala Kantor Dinas lain, termasuk kepada Kepala Kantor Depag, jika harus memenuhi undangan bupati untuk mengikuti rapat koordinasi di kantor kabupaten setempat. Bagi Ketua yang malu-malu bersikap demikian, memang harus rela naik sepeda motor (Honda CG 110 Cc) butut, sebagai satu-satunya kendaraan dinas berplat merah. Tampilan Ketua PA di daerah minus, memang sangat lain dengan para Ketua PA di Jawa. Pada umumnya para Ketua PA di Jawa atau daerah dengan jumlah perkara besar, rata-rata dapat mensejajarkan diri dengan tampilan kantor instansi lain. Uang perkara yang relatif banyak tampaknya dapat ‘dimainkan’ untuk kepentingan mendongkrak penampilan. Dengan swadana banyak PA besar di Jawa dan kota-kota besar lainnya, membeli sendiri kendaraan roda empat.

Keinginan para elite peradilan agama itu tampaknya terkabul. Akan tetapi secara psikologis justru awal timbulnya sikap ‘tidak mau saling mengenal’ antar pegawai PA dan Kandepag. Sinergitas kelembagaan yang semestinya bisa dibangun untuk saling mendukung tupoksi, sering tidak dapat dilakukan. Sinergitas itu, misalnya dalam hal penyuluhan hukum. Bahkan, dalam suatu rapat atau even resmi ketika dua satker itu berus bertemu sering seperti 2 rival dengan potensi saling ‘menyalahkan’. Para hakim sering menghakimi kinerja aparat kemenag ( sebut saja dalam hal mengkritisi pelaksanaan pernikahan yang di banyak daerah dirasakan masih ‘semrawut’ waktu itu). Para aparat Depag pun sering mengkritisi produk pengadilan yang sering tidak sejalan dengan konsep undang-undang perkawinan. Kasus mengenai hal ini ialah adanya produk hakim berupa penetapan itsbat nikah dengan konsep wali yang tidak seperti yang dikehendaki oleh aturan. Ada oknum hakim didakwa mengesahkan pernikahan yang dilaksanakan dengan wali hakim tidak sebagaimana ketentuan wali hakim yang di atur oleh Menteri Agama, misalnya seorang menikah dengan wali kiai.

Kemesraan yang pernah terjalin setelah adanya konsep satu atap lembaga peradilan (one roof system) secara pelan tapi pasti membuat jarak komunikasi instansi yang sama berlabel agama ini secara jujur harus diakui kian lebar. Kalaupun ada yang masih ada yang mesra, hanya bersifat personal. Dan, bukan secara institusional. Akibatnya dalam pelaksanaan tugas sering terjadi ‘berbenturan’ tadi. Suatu contoh lagi, dalam kasus eksistensi surat keterangan telah terjadi pernikahan. Di tempat penulis bertugas, pernah ada semacam kebijakan dari kemenag, bagi orang yang kutipan akta nikahnya dibawa suami, untuk kepentingan pengajuan perceracaraian, KUA hanya menerbitkan surat keterangan pernah terjadinya pernikahan. Tidak boleh KUA mengeluarkan duplikat dengan alasan tersebut. Ketika surat keterangan diperiksa di persidangan hakim menolak eksistensi surat keterangan tersebut dengan alasan ikatan sahnya pernikahan, hanya bisa dibuktikan dengan akta nikah dan kalau tidak ada dengan duplikatnya. KUA mengeluarkan Surat Keterangan berdasarkan petunjuk atasan sedangkan hakim menolak eksistensi surat keterangan berdasarkan undang-undang.

Ilustrasi di atas menjadi salah satu contoh perbedaan persepsi disebabkan mampetnya saluran komunikasi antar dua satker yang pernah menjadi saudara kandung itu. Apa yang terjadi di Bangko saat peringatan HAB ke-76 ini, mungkin perlu menginspirasi seluruh insan dari dua satker, Kemenag dan PA. Sebagaimana diitulis dalam berita website badilag Mahkamah Agung RI (03/01/2022) Ketua PA Bangko berakrab ria dengan Kepala Kemenag Kabupaten Merangin. Dalam berita yang ditulis dengan judul “Hadiri HAB, KPA Bangko Jadi Tamu Istimewa” itu, kedua pejabat tampak saling bernostalgia karena merasa pernah sebagai saudara kandung ketika sama-sama berada di Depag RI.

Ketika diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Mediasi yang belum mewajibkan PA untuk mengikutinya, penulis pernah menulis artikel mengenai upaya membangun kembali komunikasi tersebut. Dalam tulisan ini pada pokoknya penulis menginginkan, bahwa penerapan Pasal 130 HIR (upaya mendamaikan) untuk PA tidak perlu melalui lembaga mediasi seperti dalam Perma itu. Menurut penulis, untuk kasus mendamaikan para pihak, selama ini sudah ada lembaga yang mengurus. Lembaga itu ialah Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan yang biasa disingkat BP4. Lembaga informal yang terstruktur dari kecamatan sampai pusat ini beranggotakan antara lain tokoh masyarakat. Dalam rangka tetap menjaga komunikasi dengan Kemenag sinergitas itu bisa dibangun dengan mengefektifkan lagi lembaga BP4 ini. Dan, yang lebih penting, agar eksistensi PA tidak tercabut dari akar sejarahnya. Akan tetapi, upaya penulis itu ternyata harus berhadapan dengan arus besar yang tetap menginginkan agar mediasi tetap diterapkan di PA. Dengan Perma Nomor 1 Tahun 2000 dan terakhir dengan Perma Nomor 1 Tahun 2016, upaya menghidupkan BP4 untuk forum pembinaan sebelum dan saat perceraian mutlak tertutup. Sebab, menurut Perma Nomor 1 Tahun 2016 seluruh perkara sengketa di Pengadilan, termasuk Pengadilan Agama, harus menempuh mediasi sesuai ketentuan Perma, kecuali perkara tertentu yang memang dikecualikan tidak perlu menempuh mediasi. Bagi perkara yang diwajibkan mediasi kalau pengaju perkara tidak mau menempuh mediasi atau karena’ogah-ogahan’ bermediasi, perkara yang diajukan bisa dinyatakan tidak dapat diterima.

Akhirnya, mengingat medan tugas semakin kompleks dan kepentingan sinergitas dalam rangka koordinasi antar instansi semakin diperlukan, maka kemesraan Depag Kabupaten Kodya (saat ini disebut Kemenag Kabupaten/Kota) dengan Pengadilan Agama tempaknya perlu dirajut kembali. Regulasi berkaitan dengan hukum keluarga yang dibuat kementrian agama sering bersentuhan dengan tupoksi Pengadilan Agama. Demikian juga penjabaran aturan hukum dari peraturan perundang-undangan yang dibuat Kemenag sering terlambat diketahui oleh para pengadil dari Pengadilan Agama. Komunikasi antar satker secara institusional memang sering terkesan formal dan kurang cepat alias lambat. Hal ini bisa dihilangkan bila komunikasi itu juga dilembagakan ke ranah informal dengan membangun lagi suasana kebatinan yang akrab antar satker (PA dan Kemenag) seperti dulu agar kemesraan ketika masih menjadi saudara kandung dulu bisa dilembagakan kembali. Selamat HAB ke-76. Dirgahayu Kementrian Agama RI.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait