JAKARTA, Beritalima.com– Kenaikan angka kemiskinan dua digit (sangat besar-red) selama pandemi virus Corona (Covid-19) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu, bisa menjadi ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi negara dan bangsa Indonesia.
“Dua tahun terakhir ini, hampir 3 juta orang balik menjadi miskin. Mereka berasal dari kelas menengah yang relatif cukup bagus dalam 20 tahun terakhir, tapi pandemi ini menjelaskan kepada kita kelas menengah kita sangat rapuh,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Muhammad Anis Matta.
Dalam pengantar diskusi Gelora Talks dengan tema ‘Anomali Pandemi di Indonesia: Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin’ yang digelar secara daring di Jakarta, pertengahan pekan ini, politisi senior itu mengatakan, bertambahnya orang miskin dari kelas menengah bisa menjadi ancaman stabilitas apabila tidak ada bantuan serius untuk dicarikan jalan keluarnya agar mereka tidak terjun ke jurang kemiskinan.
Dalam diskusi yang menampilkan nara sumber antara lain ekonom senior Dr Hendri Saparini, Bhima Yudhistira Adhinegara (irektur CELIOS) serta Fithra Faisal Hastiadi (Direktur Eksekutif Next Policy), Anis mengatakan,
sekarang kita menghadapi kesenjangan, yang mengingatkan kita kembali dengan lagu Rhoma Irama yang dibuat di era pembangunan zaman Pak Harto dulu, Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Miskin, karena ada pertumbuhan yang tidak disertai pemerataan. Namun, sekarang ini kita tidak sekadar bicara tidak adanya pemerataan, tapi juga pertumbuhan yang terancam.
Dia menilai selama pandemi di Indonesia saat ini terjadi anomali dimana yang kaya justru semakin meningkat kekayaannya. Namun, terkait hal ini tidak perlu dicegah, pemerintah tidak perlu mencegah seseorang menjadi kaya.
“Tapi lebih kepada menghilangkan kesenjangan yang ada di masyarakat. Kerapuhan ini yang mesti kita pikirkan bersama apa yang bisa kita lakukan untuk menguatkan kelas menengah ini, mengurangi angka kemiskinannya,” kata dia.
Rapuhnya kelas menengah menjadi miskin, kata Wakil Ketua DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Kokesra) 2009-2014 tersebut bakal semakin memperlebar ketimpangan ekonomi dan sosial, sehingga diperlukan satu struktur ekonomi baru yang tidak akan berdampak buruk bagi stabilitas negara dan bangsa.
“Saya ingin menggarisbawahi bahwa usaha kita untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan sosial dan ekonomi ini membutuhkan satu narasi ekonomi baru, satu mazhab ekonomi baru,” kata dia.
Konsep Geloranomics yang sedang dikembangkan Partai Gelora, menurut Anis, bisa jadi madzab ekonomi baru yang berorientasi pemberdayaan masyarakat, disamping isu lingkungan yang sangat fundamental.
Anis menemukan benang merah.
Benanr merah itu, satu titik dimana Gelora yang sedang mengembangkan konsep Geloranomics, salah satu orientasi dasarnya isu lingkungan, juga orientasi pemberdayaan masyarakat untuk menutup kesenjangan ekonomi. Ini tantangan besar ekonomi, bukan hanya di kita tapi juga di dunia.”
Ekonom Hendri Saparani mengatakan, setiap kali ada krisis pemerintah selalu memberikan stimulus fiskal dengan memberikan dokumen pembiayaan belanja yang besar untuk menjaga stabilitas ekonomi.
“Namun, upaya itu seringkali tidak tepat sasaran seperti kita lihat jumlah dana pihak ketiga yang diatas Rp 2 miliar terus naik 2021, meningkatnya luar biasa 30 persen. Mestinya kita lebih baik membuat kebijakan mendorong terjadi pertumbuhan ekonomi masyarakat,” kata Hendri.
Hal senada disampaikan Bhima. Dia mengatakan, banyak kebijakan yang dinilai pro rakyat ternyata banyak mengamankan kepentingan pengusaha dengan dalih bermacam-macam seperti menyerap tenaga kerja.
“Kebijakan yang disebut bangun jalan dan segala macem yang menyerap tenaga kerja lebih optimal, ada yang kemudian bilang ini pro rakyat, tapi ternyata kebijakan-kebijakannya mengamankan kepentingan pengusaha,” kata Bhima.
Fithra Faisal menambahkan, pemerintah seharusnya menggelontorkan uang ke sektor-sektor yang efisien agar ekonomi bisa bergerak menjadi pertumbuhan.
“Yang disampaikan Menteri Keuangan\ dalam menghadapi pandemi, tidak mencerminkan analisa yang disampaikan, sehingga secara teknis banyak sektor-sektor yang tidak efisien. Kita butuh kerja keras untuk memperbaiki policy tersebut,” kata Fithra Faisal. (akhir)