LABUHA, Beritalima.com – Bobroknya pengelolaan pasca bencana di Pulau Obi, Halmahera Selatan, akhirnya berujung ke ranah hukum. Senin (9/4/2018) siang LSM Lembaga Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Maluku Utara resmi melaporkan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Halsel Iksan Subur ke Kejaksaan Tinggi Malut. Selain Iksan, perusahaan kayu PT Poleko Yubarson yang melakukan aktivitas penebangan di puncak lima desa di Obi juga turut digugat.
Laporan bernomor 05/B/LAKI-MU/IV/2018 yang dimasukkan LAKI memuat data dugaan pelanggaran yang dilakukan BPBD maupun PT Poleko. Laporan tersebut diterima Kepala Seksi III Bidang Intelijen Kejati Malut Sofyan Iskandar Alam.
Dalam laporan itu disebutkan banjir yang menerjang Pulau Obi 2016 lalu disebabkan aktivitas penebangan yang dilakukan Poleko. Aktivitas penebangan tersebut dilakukan di hutan yang terletak di kawasan puncak belakang Desa Jikotamo, Akegula, Buton, Laiwui, dan Desa Kampung Baru. Penebangan kayu bulat juga dilakukan hingga bibir sungai.
Selain itu, sisa-sisa kayu bulat dibiarkan Poleko tertumpuk di ruas sungai Desa Buton. Aktivitas perusahaan pemegang SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 962/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 itu juga disebut menyebabkan saluran air tertutup lantaran dijadikan jalan pengoperasian perusahaan.
Akibat aktivitas penebangan hutan tersebut, 2016 lalu banjir bandang menerjang Obi. Selain menimbulkan kerugian materiil warga yang tak sedikit, air bah juga mematahkan jembatan penghubung utama yang terletak di Jikotamo-Buton.
Anehnya lagi, hingga dua tahun berlalu Pemerintah Kabupaten Halsel tak kunjung membangun kembali jembatan utama di Obi tersebut. Warga akhirnya membuat jembatan darurat bermaterial kayu yang berulangkali harus diperbaiki lantaran kerap diterjang derasnya arus sungai seluas 40 meter itu.
Dalam laporannya LAKI juga menuliskan pasca bencana banjir tersebut, warga Obi semestinya mendapat penyaluran bantuan dari Pemkab. “Nyatanya, hingga kini tak ada bantuan yang disalurkan,” ungkap Wakil Ketua LAKI Malut Fahri Sumarto.
Absennya bantuan dan pembangunan kembali jembatan membuat dana penanganan bencana senilai Rp 3,636 miliar yang dialokasikan melalui APBD Halsel 2017 dipertanyakan. Sebagai gantinya, BPBD Halsel membangun bronjong melintasi sungai. Proyek senilai Rp 480 juta itu disebut LAKI tak melalui tender dan tak sesuai spesifikasi sebagai sarana penyeberangan. Saat ini, bronjong itu telah tenggelam dan hanya dapat dilewati kendaraan berat seperti truk.
Tak hanya soal jembatan, sejumlah proyek pasca banjir milik BPBD di Obi juga dipertanyakan. Yakni rehabilitasi plat deker gerbang MTQ Laiwui senilai Rp 200 juta, rehabilitasi plat deker lapangan MTQ Laiwui Rp 200 juta, rehabilitasi plat deker Dusun Turi Rp 200 juta, rehabilitasi dan rekonstruksi plat deker kuburan Akegula Rp 139 juta, dan rehabilitasi dan rekonstruksi Pasar Laiwui Rp 140 juta.
Ada pula proyek rehabilitasi dan rekonstruksi drainase primer Desa Buton dan Dusun Turi senilai Rp 420 juta, rehabilitasi dan rekonstruksi talud sungai Desa Laiwui Dusun Turi Rp 1,2 miliar, pekerjaan timbunan penahan ombak Desa Anggai Rp 200 juta, pembangunan drainase plat deker Desa Laiwui Rp 200 juta, pembangunan teluk pantai Soligi Rp 200 juta, serta pembangunan plat deker Desa Buton Rp 200 juta.
Pekerjaan proyek-proyek tersebut diduga belum terselesaikan dan tidak dikerjakan sesuai kontrak dan volume kerja serta kualitas beton. “Karena itu kami mendesak Kejati agar melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala BPBD Saudara Iksan Subur serta PT Poleko Yubarson,” tegas Fahri.
Kepala BPBD Halsel Iksan Subur saat dikonfirmasi Beritalima.com membenarkan jika dirinya telah dilaporkan ke jalur hukum. Ia mengaku telah menerima panggilan untuk menjalani pemeriksaan. Hanya saja, Iksan menyatakan pemanggilan dilakukan Kejaksaan Negeri Labuha, bukan Kejati. “Hari Kamis (12/4/2018) ada panggilan dari Kejari Labuha untuk dimintai keterangan sesuai tuntutan mahasiswa,” tuturnya.
Keterangan Iksan ini sendiri bertolak
belakang dengan pengakuan Kepala Kejari Labuha Cristian Charel Ratuanik. Cristian mengaku belum mendapat informasi terkait pelaporan maupun pemanggilan Iksan untuk diperiksa. “Belum, saya belum dapat info itu,” ujarnya.
Kantongi Dokumen Legal
Sementara itu, PT Poleko Yubarson yang diperkarakan merupakan perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang berlaku selama 30 tahun terhitung sejak 1999. Itu berarti perusahaan yang berbasis di Jakarta itu punya waktu menebang hutan-hutan Obi hingga 2029.
Berdasarkan peta arahan pemanfaatan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan hutan yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 29 Mei 2015, Poleko diberi izin memanfaatkan Hutan Produksi tetap (HP) seluas 86.599 hektare. Selain Poleko, perusahaan kayu lain yang beroperasi di Pulau Obi adalah PT Telaga Bhakti Persada (TBP). TBP menguasai 63.405 hektare lahan hutan Obi.
Pada Mei 2017, Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu PT Lambodja Sertifikasi mengaudit legalitas pengelolaan kayu milik Poleko. Hasilnya, perusahaan ini dinilai memenuhi sertifikasi dalam semua indikator. Diantaranya kepastian areal OUPHHK-HA, IUPHHK-RE, dan Hak Pengelolaan, memenuhi sistem dan prosedur penebangan yang sah, keabsahan perdagangan atau pemindahtanganan kayu bulat, pemenuhan aspek lingkungan dan sosial yang terkait dengan penebangan, serta pemenuhan terhadap peraturan ketenagakerjaan.
Meski perusahaan ini beroperasi secara legal, Barisan Pemuda Pelopor (BAPPOR) Kepulauan Obi menilai eksistensi Poleko tak membawa manfaat bagi warga Obi. Sebaliknya, perusahaan yang dikelola Nugroho Hendarto cs ini hanya merusak lingkungan. “Bahkan selama ini warga lingkar perusahaan tidak mendapat kontribusi CSR yang signifikan,” ungkap Koordinator BAPPOR M. Risman Amin Boti.
Masuknya laporan resmi LAKI disambut gembira BAPPOR. Risman berjanji akan turut mengawal tindak lanjut laporan tersebut. “Yang tidak kalah penting juga harapan adalah saluran kali yang berada di belakang Desa Buton harus diperbaiki dan dibangun bronjong penahanan banjir di tepi kali untuk mencegah ketika terjadi luapan air besar di musim hujan,” terangnya.
Ia juga meminta DPRD Maluku Utara dan Dinas Kehutanan lebih jeli mengawasi operasional perusahaan kayu di Obi. “Sebab jika terjadi bencana, masyarakat yang jadi korban utamanya,” tandasnya.(iel)