Kepemimpinan Dalam Bingkai ‘P-E-R-E-M-P-U-A-N’

  • Whatsapp

Dr. Lia Istifhama, M.E.I, Ketua III STAI Taruna Surabaya

Berbicara kepemimpinan, kadang semakin menarik saat dikaitkan isu gender, yaitu perempuan sebagai pemimpin. Namun pada tulisan ini, bukan mengkaitkan bagaimana potensi perempuan untuk mendapatkan posisi kepemimpinan di sektor publik, melainkan melainkan bagaimana membangun model pemimpin ideal sesuai kebutuhan masyarakat. Melalui beberapa analisa, ternyata kata ‘PEREMPUAN’ sendiri, merupakan gabungan dari unsur kata yang menunjukkan indikator idealnya sebuah pemimpin sejati. Dalam hemat penulis, kata ‘P-E-R-E-M-P-U-A-N’ bisa menjadi pengejawantahan dari kata: Personality, Empathy, Responsibility, Equity, Motivation, Positivity, Universal, Analytical, dan Negotiating.

Personality.
Jika dalam Islam personality atau kepribadian adalah pemimpin yang mencerminkan pribadi shiddiq (jujur); ‘amanah (terpercaya); tabligh (menyampaikan); fathanah (cerdas), maka dalam teori konvensional, personality bisa ditelaah melalui Trait Theory oleh Gordon Allport. Teori ini mempercayai bahwa orang yang dilahirkan atau dilatih dengan kepribadian tertentu akan menjadikan mereka unggul dalam peran kepemimpinan. Kualitas kepribadian tersebut, antara lain keberanian, kecakapan, daya tanggap, imajinasi, kreativitas, disiplin dan nilai-nilainya lainnya yang merupakan karakteristik mental pemimpin. Secara detil, ada tiga ciri yang dijelaskan oleh Allport, yaitu cardinal traits, central traits, dan secondary traits.

Empathy.
Empati adalah bentuk kepedulian dan kepekaan dalam menjalankan hubungan sosial, terutama dengan lingkungan terdekatnya. Hal ini penting mengingat perkembangan jaman kadang menjadikan manusia terbelenggu dengan beragam kebiaasaan dan kepentingan sehingga mengabaikan lingkungan sosialnya sendiri. Oleh James S. Coleman, kepedulian atau kebaikan dinilai sebagai bentuk resiprokal, bahwa ‘people are always doing things for each other’. Pemimpin yang memiliki sikap empati dan peduli pada orang lain, tentu akan dipedulikan oleh bawahannya. Begitupun disampaikan oleh Bar-On dan Parker, bahwa empati bagian penting dari kecerdasan emosional sehingga berpengaruh signifikan terhadap efektifitas kepemimpinan.

Responsibility.
Responsibility adalah pemimpin yang memiliki integritas bertanggungjawab. Tanggung jawab disini adalah dalam banyak aspek, dimana salah satunya memiliki kemampuan manajerial. Manajerial skill sangat dibutuhkan pemimipin. The right man on the right place sangat penting diterapkan. Tatkala pemimpin hanya berpikir skala pendek, yaitu apa yang sedang dihadapi sekarang dan enggan berpikir dampak jangka panjang, maka tentu akibatnya adalah fatal. Secara logika, pemimpin yang manajerial skill nya rendah, tidak akan memikirkan investasi kebaikan bagi generasi penerus bangsa. Namun sebaliknya, kepentingan sesaat dikhawatirkan mengakibatkan aspek jangka panjang yang lemah atau rusak.

Equity.
Equity adalah sebuah keadilan. Dengan begitu, penting sekali bagi pemimpin memiliki karakter yang adil dalam bersikap dan membuat kebijakan. Dijelaskan oleh John S. Adams, bahwa ‘adil’ terdapat dalam equity theory mengenai keadilan hak dan kewajiban karyawan, yaitu keseimbangan antara input dan output. Dikaitkan pemimpin dalam lingkup lebih luas, maka teori ini mengutamakan pentingnya peran pemimpin untuk selalu bijak mengingat masyarakat dibawahnya secara tidak langsung telah berbuat ‘mengikuti, mematuhi, bahkan melayani’ pemimpin di atasnya.

Motivation.
Motivation adalah karakter pemimpin yang mau memotivasi pada kebaikan dan juga mau dimotivasi (dinasehati) untuk tetap berada pada jalur kebaikan. Motivasi yang baik tentunya terbentuk tatkala sifat baik dimiliki pemimpin, yaitu diantaranya adalah sikap yang mau mencari ilmu atau mencari nasehat. Kajian-kajian tentang motivasi diterima sangat baik oleh banyak orang karena motivasi menjadi ‘kebutuhan’ manusia. Untuk itu, pemimpin yang bijak sangat penting membangun prinsip ‘Berpikir dan Berjiwa Besar’, seperti yang pernah dikajinoleh David J. Schwartz.

Positivity.
Positivity adalah karakter pemimpin yang mengedapankan pemikiran positif atau positive thinking. Menjaga pemikiran positif adalah karakter pemimpin yang sekaligus menjaga dirinya sebagai ahli kebaikan. Sikap baik, sikap positif, tentunya dapat tercermin dalam perilaku pemimpin yang memiliki rasa maklum (pengertian) atas kesalahan orang lain bahkan memiliki kemudahan dalam me-ma’fu atau memaafkan. Menurut penulis, teori toxic positivity yang sempat berkembang, tidak bisa begitu saja mematahkan urgensi sikap positif dalam kepemimpinan karena menuju ‘Great Man’, yaitu orang hebat, memang membutuhkan pemikiran positif dalam setiap kebijakannya.

Universal.
Universal adalah karakter pemimpin yang mampu beradaptasi dan memahami perkembangan situasi. Pemimpin mampu melihat fakta secara holistik sehingga tidak terjebak dalam keputusan yang sesat akibat pemikiran yang sesaat. Karakter universal dapat dianalisa melalui contingency theory Frederick E. Fiedler yang beranggapan bahwa tidak ada cara yang paling baik untuk memimpin, kecuali harus didasarkan pada situasi dan kondisi tertentu. Sedangkan dalam Islam sendiri, terdapat kaidah penekanan li kulli zaman wal makan, yaitu implementasi hukum harus mampu beradaptasi dalam segala situasi kondisi dan tempat. Dengan begitu, karakter ‘great man’ seorang pemimpin, adalah yang bisa adaptif dengan situasi.

Analytical
Analytical adalah karakter pemimpin yang memiliki kemampuan menganalisa strategi. Oleh Harry R. Yarger, strategi berbicara tentang bagaimana sesuatu hal (keputusan) memberikan dampak di masa depan (all strategy is about the future. The future is where strategy has its effect). Strategi juga bentuk pemikiran tentang hal besar, not about reductionism, yaitu bukan tentang pengurangan sesuatu hal (pencapaian) yang telah dicapai. Dengan begitu, seorang pemimpin harus memikirkan kemajuan peradaban, bukan sebaliknya.

Berbicara sebuah analisa membangun peradaban, dapat kita pelajari tentang bangkitnya Jepang pasca pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Jepang saat itu lumpuh total dan diperkirakan membutuhkan waktu sedikitnya 50 tahun untuk bangkit. Namun Jepang hanya membutuhkan waktu 20 tahun untuk bangkit karena analisa strategi yang sangat tepat telah dilakukan oleh Kaisar Hirohito, yaitu dengan membangkitkan pendidikan lebih dahulu daripada aspek lainnya. Pendidikan dinilainya sangat penting bagi peradaban generasi penerus bangsanya.

Konsep Yarger berikutnya, bahwa strategi adalah “how to think”, not “what to think. Dengan begitu, saat kekuasaan didapat, maka seyogyanya pemimpin tidak menjadikan power sebagai akhir keinginannya, karena power is a means, not an end. Power adalah sarana untuk membangun yang lebih baik bagi kelangsungan (suistanability), bukan akhir dari ambisinya.

Negotiating
Negotiating adalah kemampuan bernegosiasi atau berkomunikasi. Tentunya, keahlian ini tak lepas dari pentingnya ilmu yang dimiliki pemimpin. Oleh Brown dan Levinson negosiasi yang baik bagi seorang pemimpin dapat dikaji melalui teori face-negotiation theory, yaitu mengenai pengelolaan hubungan dan perbedaan pendapat. Dalam hal ini, wajah (mimik) dapat menentukan berhasil tidaknya sebuah negosiasi ataupun kemampuan mempengaruhi orang lain agar seirama dengan subyektifitas seorang pemimpin.

Dengan demikian, sangat penting implementasi 9 indikator dalam “PEREMPUAN” untuk dimiliki seorang pemimpin. Dan semoga perempuan-lah yang selalu menjadi leading terbentuknya ‘Leadership Is Action, Not Position’, bahwa pemimpin harus melakukan aksi nyata sebagai identitas kepemimpinanya, bukan mengkultuskan diri sebagai pemilik sebuah jabatan. Karena semangat kaum perempuan adalah: ‘Kami Kaum Perempuan, Kami Punya Peran.’

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait