SURABAYA, beritalima.com | Keputusan Walikota Nomor :100.3.3.3/208/436.1.2/2024 yang diterbitkan pada 20 Agustus 2024 lalu mendapat penolakan dari masyarakat Kota Surabaya. Keputusan tersebut membolehkan tiang-tiang reklame dipasang di jalur hijau dan taman-taman di Kota Surabaya.
Setelah didemo LSM dan aktivis lingkungan, keputusan Walikota Surabaya itu kini diprotes para pakar kenamaan di Surabaya, yakni DR Gitadi Tegas Supramudyo, pakar analisis kebijakan publik Universitas Airlangga, dan Timoticin Kwanda, dosen Arsitektur Universitas Kristen Petra yang juga Ketua Program (SHRE).
Gitadi mengatakan, sebuah keputusan yang berdampak pada publik tidak cukup hanya diputuskan dalam bentuk Keputusan Walikota saja, melainkan harus melibatkan banyak pihak seperti legislatif (DPRD), ahli di masing-masing bidang terkait, dan elemen masyarakat.
Sedangkan keputusan walikota tentang Kawasan Penataan Reklame di Kota Surabaya tersebut, lanjut Gitadi, ditetapkan sepihak oleh Walikota yang saat itu dijabat oleh Eri Cahyadi.
Oleh karenanya, Gitadi berpendapat bahwa keputusan walikota tersebut harus dibatalkan atau setidaknya direvisi, karena terkesan buru-buru dalam menerbitkannya. Banyak aspek yang dikesampingkan, seperti analisis dampak sosial dan lingkungan, pertimbangan dari para ahli dan peran serta masyarakat.
Menurutnya, dengan melihat konsiderans dan peta lampirannya saja kita bisa melihat keputusan tersebut tidak layak atau tidak bisa diberlakukan.
“Sebut saja monumen bambu runcing digambar lampiran ini, ya masak (ikon kebanggaan warga Surabaya) mau dibeginikan (dikelilingi oleh papan-papan reklame)?”, ujarnya.
Belum lagi di sepanjang jalan protokol seperti, Ahmad Yani, Diponegoro, Raya Darmo, DR Soetomo, Mayjend Soengkono, HR Muhammad, Ir. Soekarno, Joyoboyo, Kalijudan Merr, Jagir Wonokromo, Kenjeran, Pasar Kembang, Kedung Cowek, Mastrip, Kusuma Bangsa dan masih banyak jalan lain yang menurut keputusan tersebut diperbolehkan untuk dipasang reklame di sepanjang ruas jalan dan jalur hijaunya.
“Karena itu, keputusan ini tidak layak diberlakukan. Mengapa? karena keputusan tersebut tidak berwawasan lingkungan dan terkesan buru-buru, tidak dilakukan dengan perencanaan yang baik,” jelas Gitadi.
Sedangkan Dosen Arsitek Universitas Kristen Petra dan Ketua Program (SHRE) Timoticin Kwanda mengatakan, segala keputusan yang diambil termasuk dalam hal penataan reklame ini harusnya memiliki pertimbangan estetika kota yang matang.
“Detail teknisnya harus jelas, tidak asal dalam penempatannya, dan harus memperhitungkan skala dan titik penempatannya harus pas,” jelasnya.
Ditanya tentang bagaimana pendapatnya tentang reklame-reklame yang boleh dipasang di jalur hijau dan taman kota, dia menyatakan sangat tidak setuju bila banyak sisi dalam estetika kota dan lingkungan yang dilanggar.
“Ini masalah. Tidak boleh ada reklame di jalur hijau dan taman kota, termasuk di sekeliling monumen bambu runcing. Karena, monumen bambu runcing merupakan landmark (identitas sebuah kota). Jadi monumen ini salah satu yang tidak boleh disandingkan dengan papan reklame, karena bagian dari nilai sejarah dan simbol perjuangan yang tidak hanya lokal tetapi juga nasional,” tegasnya.
Reklame yang tersebar di jalur hijau tersebut menurutnya akan menurunkan image kota Surabaya yang sudah dikenal sebagai kota hijau dan asri sejak kepemimpinan Tri Rismaharini. “Apalagi yang dominan papan reklamenya, bukan lagi tanaman hijaunya,” tandasnya.
Mengenai dampak lain selain hilangnya estetika Kota Surabaya, Timoticin mengatakan, potensi banjir. Karena, lanjut dia, luapan air yang tidak diserap secara maksimal berpotensi terjadi banjir.
“Jelas itu mengurangi titik resapan air. Karena memasang reklame butuh pondasi dan pengerasan di atas taman-taman kota tersebut, jadi air yang tidak terserap akan lari ke jalan dan bisa dibayangkan dampaknya,” paparnya.
“Intinya sebelum mengeluarkan keputusan seharusnya dilakukan kajian terlebih dahulu dengan berbagai elemen masyarakat,” pungkas Timoticin. (Gan)