GRESIK,beritalima.com- Di tengah geliat modernisasi, sebuah pasar rakyat di utara Gresik justru menarik perhatian karena kembali ke akar budaya. Bukan dengan uang, transaksi di Pasar Segoro dilakukan menggunakan kerang. Satu kerang dihargai setara dua ribu rupiah. Konsep unik ini menjadi ciri khas sekaligus simbol kehidupan nelayan di Desa Campurejo, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik.
Diadakan di area utara kompleks makam desa, Pasar Segoro bukan sekadar tempat jual beli. Ia adalah panggung budaya yang dibalut suasana tempo dulu—tanpa plastik, tanpa kebisingan elektronik, hanya suara alat musik tradisional, tawa anak-anak, dan semilir angin laut.
“Alat transaksi di Pasar Segoro ini bukan menggunakan uang biasa, namun kerang. Satu kerang nilainya sama dengan dua ribu rupiah,” ungkap Khoirul Fatiqin, Ketua Pelaksana Pasar Segoro.
Kerang bukan sekadar alat tukar. Ia adalah simbol desa, simbol laut, simbol kehidupan pesisir. Inilah cara Komunitas Ngayom Jagad—penggagas acara—menghidupkan kembali semangat gotong royong dan budaya lokal, sambil mengedukasi generasi muda tentang nilai-nilai tradisional.
Lebih dari Sekadar Pasar
Pasar Segoro terbagi dalam tiga rangkaian utama: pasar rakyat, pertunjukan seni, dan pameran instalasi berbasis kehidupan nelayan. Salah satu sudut pasar menampilkan replika perahu kayu, jaring-jaring tua, serta artefak kehidupan melaut yang menghiasi ruang publik menjadi galeri terbuka.
Tak kalah memikat, Paguyuban Reog Pantura turut memeriahkan suasana. Anak-anak kecil berlari-lari di antara lapak makanan tradisional, sementara di kejauhan, dentuman kendang dan lengkingan suling mengiringi tarian barongan yang menghentak tanah berdebu.
“Dengan menghadirkan suasana tempo dulu, bebas plastik, dan menyatu dengan kehidupan warga pesisir, Pasar Segoro menjadi ruang bersama untuk mengenang, merayakan, dan merawat kebudayaan lokal,” imbuh Fatiqin.
Ruang Inklusif untuk Semua
Pasar Segoro terbuka untuk semua. Tak hanya warga sekitar, tapi juga pelaku seni, komunitas kreatif pemuda, pelaku industri kreatif, UMKM, hingga instansi pemerintahan. Semua menyatu dalam semangat merawat budaya.
“Pasar Segoro ini tidak hanya sekali, tapi akan berlangsung satu hingga dua kali setiap bulan, menyesuaikan dengan kalender Jawa, seperti hari Wage dan Pon,” kata Fatiqin.
Dukungan Pemerintah Desa
Kepala Desa Campurejo, Amudi, menyambut hangat inisiatif anak-anak muda tersebut. Baginya, kegiatan ini tak hanya menjadi ajang budaya, tetapi juga membuka peluang peningkatan ekonomi warga.
“Kami mengapresiasi pelaksanaan Pasar Segoro ini yang digagas oleh anak-anak muda. Apalagi mengangkat kembali kuliner dan budaya lama Campurejo untuk dilestarikan,” ujarnya.
Terkait penggunaan kerang sebagai alat tukar, Amudi, menjelaskan bahwa kerang adalah bagian dari identitas masyarakat Campurejo.
“Daripada kulit kerang tak dimanfaatkan, kini kami gunakan sebagai alat transaksi yang punya nilai simbolis sekaligus fungsional,” jelasnya.
Ia berharap, kegiatan ini bisa terus berkembang dan menjadi kalender tetap desa, agar manfaatnya kian dirasakan oleh warga.
“Semoga kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan kali ini bisa diperbaiki dan dimaksimalkan pada Pasar Segoro berikutnya,” pungkasnya.(Moh Khoiron)

