Keringatmu Membekas Nek

  • Whatsapp
Dokumentasi Pribadi Lutfia

Terbangun aku dari tempat tidur beralaskan kapuk penuh debu. Melihat matahari mulai masuk ke lubang-lubang ventilasi, silau menyinari wajahku. Aku terbangun dan menyadari aku sedang ada dikampung saat liburan akhir tahun.

Suara batu dan kayu saling bersahutan karena gerakan tangan. Seorang perempuan tua menggunakan kebaya dan kain jarit khas dengan rambutnya yang digulung sedang duduk di kursi kayu yang rapuh. Itu nenekku yang sedang menghaluskan biji kopi hitam di dapur. Aku menghampirinya hendak membantu.

“Ni, biar aku aja sini,” kataku.
“Ndausah nduk, duduk saja sini lihat,” sahutnya lembut.
“Kamu sudah makan belum?” tambahnya.
“Sudah Ni,” jawabku.
Aku memperhatikan nenek sambil melamun. Setiap melihatnya aku ingin selalu berterimakasih dan meminta maaf. Aku sangat berharap aku bisa membahagiakannya dan dia bisa melihatku kelak ketika aku suskes.

Aku lahir di pelosok desa terpencil, Desa Ori, Kebumen. Sejak sekolah dasar aku tinggal dan diurus oleh nenekku, ia biasanya ku panggil ‘Nini’.
Sejak kecil aku dan tiga saudara kandungku harus merasakan kurangnya kasih sayang orang tua karena perbedaan pendapat antar keduanya. Entahlah aku masih tak mengerti waktu itu.
Harus tinggal di kampung dengan kondisi seadanya, nenek terus berusaha membuat kami tumbuh. Banyak masa sulit yang dihadapi. Namun, nenekku sekalipun tak pernah mengeluh dengan keadaan. Ia selalu mengurusi dan membantu hidup kami.

“Ni, mau beli jajan,” kataku merengek.
“Ninine ga megang uang nduk, makan saja dirumah ya,” kata nenek memberi saran.
Aku terus merengek meminta keinginanku dituruti. Sampai nenekku harus berhutang agar bisa memenuhi keinginanku itu. Begitulah nenekku, selalu baik dan sayang pada cucunya. Tak mau sekalipun melihat cucunya sedih. Padahal keinginanku kadang tak masuk akal dan tak penting.
Aku juga ingat sekali perjuangannya saat aku dan saudara kandungku masih kecil. Kerap kali kami ingin menyusul Ibu ke kota. Tak ada yang bisa mengantar, hingga akhirnya nenek sendiri yang mengantarkan kami.

Berjalan jauh dengan langkahnya yang terbatas, ia mengantarkan kami ke kota agar bisa melihat Ibu. Sakit, pegal pasti dirasakannya. Hanya demi menuruti keinginan kami, ia sangat berani pergi seorang diri membawa kami tanpa tahu kota sama sekali.
Bagiku nenek sudah seperti sosok Ibu, bahkan ia tak pernah marah sekalipun ketika aku membuat kesalahan. Entah terbuat dari apa dirinya. Ia mengajari ku banyak hal. Banyak sekali. Sampai sulit ku jelaskan.

Tumbuh dengan didikan kasih sayang dan pengertiannya, nenek berhasil membuat aku dan saudara kandungku bisa pindah ke kota untuk melanjutkan pendidikan.
Aku merasa durhaka karna ketika aku sudah pindah ke Ibukota aku bahkan jarang menanyakan kabarnya di kampung. Aku sangat ingin terus bersamanya, namun jarak harus memisahkan kita.
Sesekali aku menghampirinya untuk pulang ke rumah, namun itu tidak sebanding dengan apa yang sudah ia lakukan untukku. Bahkan di usianya yang semakin tua aku tidak bisa mengurusnya seperti dia mengurusku.

Melihatnya tetap semangat hingga saat ini membuatku ingin membuktikan ketika kelak aku sukses, aku akan segera membahagiakannya. Setidaknya hanya sekali saja membuatnya bahagia.
Aku selalu berdoa pada tuhan “Ya Allah, panjangkan umur nenek, selalu berikan kebahagiaan padanya ya Allah, jangan berikan kesulitan, lindungilah nenek dan kakekku. Semoga kelak aku bisa membahagiakannya ya Allah, aamiin,” doaku dalam hati.

“Ti, kamu nanti kalau sudah dewasa, jangan sama orang kampung ya, di kampung nda ada apa apa, nanti kamu sengsara. Biar nda kaya gini, kaya nini sama kakine hidup dikampung nda enak,” katanya ketika aku sedang melamun memperhatikannya.

Mendengar ucapannya aku tersenyum menahan haru, bahkan disetiap waktunya dia selalu memikirkan kebaikan untukku. Maafkan aku Nek selalu merepotkanmu. Terimakasih banyak Nek, keringatmu akan selalu membekas.

Lutfia Dwi Kurniasih
Politeknik Negeri Jakarta

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait