Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim PTA Jayapura)
Ketika bertugas di suatu daerah ‘pelosok’ waktu itu, saya dibuat sangat masygul oleh sebuah realitas. Betapa tidak, di daerah itu para nara pidana itu, dengan memakai baju seragam resmi, terlihat sangat jinak. Mereka sering terlihat ‘diundang’ ke rumah dinas oleh para pejabat setempat untuk melakakukan pekerjaan-pekerjaan ringan, seperti membersihkan rumput di halaman, mencuci piring saat ada hajatan, atau pekerjaan domestik rumah tangga rumah tangga lainnya. Para pejabat juga tampak tidak menaruh kecurigaan, ketika mereka leluasa keluar masuk halaman rumah dan sesekali memasuki rumah, meskipun waktu itu belum terlihat terpasang CCTV. Mereka datang tanpa pengawalan ( berjalan kaki ) dan setelah seharian bekerja mereka pun pulang dengan santainya ke pondok prodeonya. Saya memang tidak sempat menanyakan tindak pidana apa yang telah mereka lalukan. Namun, pada kesempatan lain pernah menanyakan kepada kepada pejabat lembaga pemasyarakatan (LAPAS) setempat bahwa karakteristik narapidana di sini, pada umumnya, memang berbeda dengan narapidana di daerah-daerah yang relatif maju dengan ragam kompleksitas, seperti di Jawa atau Sumatera.
Mereka tidak saja sangat senang jika mendapat tugas bekerja di rumah pejabat tetapi bahkan senang tinggal di penjara (LAPAS). Konon salah satu alasannya, menurutnya, karena saat di penjara mereka dapat makan teratur dan tidur di bangunan bagus. Berbeda dengan ketika mereka hidup bebas, yang justru harus susah mencari makanan, ruang tidur pun bercampur dengan ruang dapur. Bahkan, konon ada seorang napi yang menjadi residivis hanya karena ‘jaminan kenikmatan’ selama di penjara tersebut.
Fenonema tersebut tentu sangat berbeda dengan kondisi di daerah-daerah maju. Para petugas penjara harus dibuat was-was oleh narapidana yang menjadu ‘asuhannya’. Setiap sudut ruangan harus selalu di control, takut kalau ada napi berkelai atau, dan ini yang membikin repot, takut kalau mereka kabur. Bahkan, untuk kegiatan bernama ‘kabur’ ini di penjara tertentu para napi sudah memakai strategi canggih. Modusnya bisa sangat di luar nalar kebiasaan.
Sebagaimana ditulis kompas.com (02/10/2020), Chai Changpan, terpidana mati asal Cina kasus penyelundupan sabu seberat 110 kg pada 2016 ini, kabur setelah melakukan aksi penggalian lubang di dalam kamar sel sendirian dengan menggali tanah dua kantong plastik setiap malam selama delapan bulan. Keulatennya demi sebuah kebebasan telah berhasil ketika Lapas Kelas I Tangerang pada 14 September 2020 dibuat geger saat ia benar-benar berhasil kabur via lobang bawah tanah sepanjang 30 meter karyanya. Kondisi demikian tentu menginspirasi para petugas lapas untuk tidak memejamkan mata sedikit pun terhadap para narapidana berat. Kenikmatan akan sebuah kebebasan saat hidup di luar penjara menjadi alasan napi apa pun untuk berusaha ingin segara lepas dari belenggu jeruji besi penjara.
Kita tentu tidak sedang membandingkan kebaikan napi dari 2 daerah yang saya sebut tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa di era modern ini penghukuman nara pidana mengalami perubahan paradigma yaitu “bukan penjeraan melainkan pembinaan”. Konsep demikian secara formal diperkuat oleh UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan–yang sebenarnya pertama kali diperkenalkan oleh Sahardjo, S.H. saat pemberian gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Ilmu Hukum kepada dirinya oleh Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963.
Di dalam pidatonya, sebagaimana ditulis Andi E. Sutrisno (ditjenpas.co.id 28/09/2016) Sahardjo menjelaskan bahwa tujuan dari pidana penjara di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, (juga ditujukan untuk ) membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Secara singkat tujuan ini disebutnya sebagai “pemasyarakatan”. Dalam beberapa diskusi yang dilakukan setelah itu oleh Sahardjo dengan Bahrudin Suryobroto disepakati bahwa konsep pemasyarakatan ini berkembang lebih jauh dari apa yang telah dianut sebelumnya sebagai tujuan pemidanaan, yaitu resosialisasi. Dalam hal ini tidak lagi memandang terpidana sebagai semata-mata sebagai manusia yang tidak lengkap sosialisasinya.
Menurutnya, secara filosofis pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah bergeser dengan meninggalkan filosofi retributive ( pembalasan ), deterrence ( penjeraan ), dan resosialisasi. Dengan kata lain, pemidanaan tidak dimaksudkan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya ( reintegrasi ). Kejahatan merupakan produk dari masyarakat itu sendiri sehingga masyarakatlah obat terbaik untuk mereka kembali pada jalan yang benar.
Perubahan paradigma pemidanaan tersebut sebenarnya telah diakomodasi KUHPidana kita yang baru, yaitu adanya pidana kerja sosial untuk kriteria delik dengan ancaman pidana dengan waktu tertentu. Dengan perubahan paradigma pemidanaan saat ini, konsep kerja sosial ini, sepatutnya diberlakukan untuk semua narapidana yang tidak berpotensi membahayakan masyarakat dan diri napi sandiri. Jika konsep ini bisa diterapkan, maka over kapasitas yang dialami hampir seluruh LAPAS akan dapat dihambat, berikut sejumlah problem ikutannya. Dalam suatu diskusi di ILC, Prof. Andi Hamzah setidaknya juga pernah menyinggung konsep kerja sosial ini sekaligus mengkritik sistem hukum Indonesia yang senang memenjarakan orang.