Di Indonesia, perkembangan birokrasi masih memposisikan rakyat hanya sebagai “penonton” kebijakan pemerintah. Rakyat sekedar “donator pajak” bukan penikmat pajak, rakyat dibungkam dalam berpendapat (dalam tanda kutip). Jika pola birokrasi yang demikian ini terus berlangsung, maka birokrasi pemerintahan hanya akan menjadi alat dominasi kekuasaan di satu sisi, dan di sisi lain, akan menambah sistem pemerintahan yang buruk.
Masalah birokrasi di Indonesia: rakyat memahaminya sebagai suatu sistem birokrasi yang negatif, menyulitkan masyarakat dan Ambigu, meskipun tidak seluruhnya memahami seperti itu. Demikian ini karena tidak terlepas dari penyalahgunaan wewenang di lembaga birokrasi itu sendiri.
Sudah menjadi pemahaman masyarakat secara luas, bahwa seorang pemimpin memiliki kewenangan luas terhadap seluruh potensi wilayah yang menjadi kekuasaannya. Jika tugas ini diserahkan kepada para pemimpin yang tidak memiliki tanggung jawab atas tugas-tugasnya sebagai pemimpin, maka rakyat akan menjadi pihak yang selalu dirugikan dan menjadi kaum tirani proletar.
Dalam teori realitas peradaban manusia (waqiat al-umran al-basyari) menegaskan: bahwa setiap kepemimpinan itu akan selalu disertai problem-problem yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Problem yang demikian ini harus diteliti secara serius sebelum seorang pemimpin mengeluarkan kebijakannya. Walaupun tidak ada seorang pemimpin yang dapat memastikan, dapat memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat, namun tetap saja harus diperjuangkan kebijakan pemimpin yang benar-benar berpihak kepada masyarakat.
Ajakan mencari pemimpin bukan ajakan untuk melakukan kudeta kekuasaan. Ajakan yang demikian, tidak lain hanya untuk mendapatkan seorang pemimpin yang lebih baik yang memiliki sikap keteladanan dan nasionalisme, dan memiliki kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat masa kini dan masa yang akan datang.
Prinsip utama yang pertama dari pemimpin, adalah keterlepasannya dalam kepentingan sesaat, atau pemimpin yang memiliki keteladanan. Pemimpin yang seperti ini merupakan ciri khas dari seorang pemimpin yang dapat menunjang reformasi.
Keteladanan pemimpin ini kemudian berkembang dalam sebuah proses interaksi yang dalam dirinya sendiri memiliki potensi sebagai model, bahkan berkembang di luar perkembangan model yang ditiru. Sebagai model, seorang pemimpin memiliki sejarah sendiri yang kemudian berkembang dalam sejarah umum. Inilah sebabnya mengapa antara lain di kalangan para pemimpin dunia mengenai sebuah keteladanan masih dibahas secara berkepanjangan.
Bahkan karena persoalan kepemimpinan, dapat menyebabkan terjadinya konflik tajam antara seorang pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya. Konflik ini akan selalu berkembang mengiringi kebijakan pemimpin: apakah berpihak kepada yang dipimpin ataukah tidak?
Pemilihan Umum Menjadi Solusi?
Sehubungan dengan adanya kondisi yang seperti ini, masyarakat masih bisa menaruh harapan melalui pemilihan umum yang bertujuan untuk memilih pejabat pemerintah. Pemilihan umum harus mampu memilih seorang pemimpin yang memprioritaskan kemanusiaan, yang memahami manajemen perubahan bagi upaya integrasi kebijakan pemimpin dengan kebutuhan masyarakat. Dalam pemilihan umum sebagai peluang kesempatan untuk menentukan pemimpin, harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, yaitu memilih pemimpin yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Namun demikian, harapan ini selalu kandas dihadapan kebijakan para pemimpin yang lebih mengedepankan program sendiri dan kepentingan kelompok. Hal ini disebabkan, kondisi rakyat yang hanya memilih, namun tidak melakukan kontrol terhadap sistem pemerintahan yang baik. Sikap rakyat dan masyarakat yang seperti inilah yang nantinya akan menguatkan kehendak para pemimpin yang sedang berkuasa untuk mengabaikan kebutuhan masyarakat.
Oleh karena itu, keteladanan dan nasionalisme seorang pemimpin harus ditekankan untuk merumuskan prinsip pengambilan kebijakan yang lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat secara luas. Titik berat pengambilan kebijakan harus disesuaikan dengan nilai kemanusiaan, keadilan, dan persamaan bagi seluruh masyarakat.
Keteladanan pemimpin bukan hanya sikap seorang pemimpin yang ditampilkan dalam bentuk tingkah laku, namun juga berkembang pada bagaimana seorang pemimpin mampu memecahkan problem yang dapat diikuti oleh masyarakatnya. Dengan demikian kemampuan seorang pemimpin yang seperti ini akan menjadi sumber rujukan individu dalam masyarakat ketika dihadapkan pada sebuah persoalan.
Seorang pemimpin boleh berbeda dalam persoalan ideologi, berbeda dalam cara berpikir dan bersikap. Namun, yang tidak boleh berbeda adalah pandangan tentang kesejahteraan masyarakat. Jadi, seorang pemimpin harus memiliki tanggung jawab untuk menyejahterakan masyarakat luas, dan keteladanan serta nasionalisme seorang pemimpin penunjang reformasi haruslah dapat dilihat dan juga dirasakan dari perspektif pemimpin dalam membangun kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana ditegaskan berikut ini, “Inna Allah ya-murukum antu-addu al-amanaat ilaa ahliha wa idza hakamtum baina al-naas an tahkumu bi al-‘adl.” (QS. an-Nisaa’ [4]: 58). Selain ajaran ini, seorang pemimpin harus berpegang pada prinsip, “Tasharruf al Imam ‘ala al-raiyyah manuth bi al-mashlahah”. Artinya, kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyat harus selalu bersumber pada kemaslahatan masyarakat luas.
Jika perjuangan pemimpin sejalan dengan Visi Misi yang di canangkan, janji yang dilontarkan kepada rakyat, maka ia telah memenuhi kewajibannya dan hak rakyatnya. Namun demikian, janji yang disampaikan kepada rakyat bukan menjadi satu-satunya sumber tanggung jawab dari seorang pemimpin, karena masih banyak yang harus dipikirkan oleh seorang pemimpin tersebut sehubungan dengan cita-cita kesejahteraan masyarakat secara luas.
Seorang pemimpin haruslah memiliki sebuah kebijakan, dan kebijakan seorang pemimpin haruslah memiliki target, yaitu selain dapat dilaksanakan secara baik oleh pemimpin, juga dapat dilaksanakan oleh mereka yang dipimpin. Jika kebijakan pemimpin tidak dilaksanakan oleh seorang pemimpin dan yang dipimpin, maka kebijakan tersebut tidak akan berdampak kepada masyarakat secara luas. Sebab, penolakan masyarakat atas kebijakan pemimpin akan memengaruhi efektivitas dan produktivitas kebijakan yang dikeluarkannya. Salah satu yang segera harus menjadi prioritas pemimpin adalah mengidentifikasi problem masyarakat dan menjawabnya dengan kebijakan yang memihak kepada masyarakat.
Karenanya, sistem pemerintahan yang baik memerlukan kontrol yang kuat dan juga memerlukan sikap kritis oleh masyarakat. Selain itu, kebijakan seorang pemimpin juga harus memastikan dalam menjamin keselamatan masyarakatnya yang telah melakukan kritik yang membangun, baik itu kritik dalam hal perkembangan perekonomian, kritik terhadap perkembangan sosial politik kekuasaan, dan maupun kritik terhadap kebijakan yang dikeluarkan.
Dengan demikian, sikap otoritatif dan kejahatan seorang pemimpin akan dapat diminimalisasi melalui kritik yang diberikan oleh masyarakatnya. Dan seorang pemimpin harus memberikan respon baik terhadap kritik yang dialamatkan kepada dirinya. Ini penting, sebab jika respon pemimpin lemah, sama artinya mengabaikan hak-hak rakyat yang dipimpinnya.
Oleh karenanya, komitmen seorang pemimpin terhadap janji-janji yang disampaikan kepada rakyat sudah secara otomatis menjadi hak rakyat yang sewaktu-waktu bisa dituntut apabila pemimpin mengabaikannya.
Oleh Achmad Shiva’ul Haq Asjach | penulis adalah penggagas Suluk Ndalanan