Review Buku Denny JA
Spirituality of Happiness,
Spiritualitas Baru Abad 21,
Narasi Ilmu Pengetahuan
KETIKA KEBAHAGIAAN
DIAMATI OLEH ILMU PENGETAHUAN
Dr. Franky Budi Hardiman
“Kebahagiaan tidak pernah sekalipun mempunyai sebuah ukuran”, tulis Seneca, seorang filsuf Romawi bermazhab Stoik yang juga sempat menjadi konsultan Nero.
Sudah jauh sebelumnya orang Yunani membedakan antara hedone (kenikmatan) dan eudaimonia (kebahagiaan). Kenikmatan menyangkut satu nilai yang egosentris, tetapi kebahagiaan, demikian Aristoteles, menyangkut perwujudan banyak nilai yang juga altruistis, seperti persahabatan, berkeutamaan, rasa dikasihi, bakat yang terwujud.
Banyak nilai harus terwujud untuk berbahagia. Seberapa banyak? Sebanyak mungkin. Maka itu tidak ada ukurannya. Kebahagian itu tidak obyektif, tapi subyektif. Itu penjelasan lain untuk tidak ada ukuran. Kata Cicero, Stoik lainnya: “Kebahagiaan itu buta”.
Filsafat kuno berspekulasi.
Tidak demikian dengan sains modern. Sains ingin mengukur nyaris semuanya, memastikan segalanya, menghitung semua hal.
Pinggiran kosmos bisa dilihat manusia dengan alat dan diukur sejauh 18 milyard tahun cahaya.
Getaran vokal U yang diucapkan adalah antara 200 sampai 400 Hz. Jumlah sel pengindraan kita di otak adalah 15.000 dan terhubung dengan 35.000 neuron.
Yang lebih hebat lagi, ilmuwan sekarang bisa meraba permukaan atom, tentu dengan alat, dan – Wow ! – untuk mengukur kemiringannya.
Tapi tidak semua yang bisa diukur juga bisa diketahui hakikatnya. Misalnya, waktu. Ilmuwan bisa mengukur waktu, tetapi sampai hari ini sains tidak (belum?) tahu apa itu waktu.
Buku tipis tulisan Denny J.A., Spirituality of Happiness, punya optimisme yang sama seperti sains. Berlawanan dengan Seneca, penulisnya yakin bahwa kebahagiaan punya ukuran.
Walaupun dialami secara subyektif, kebahagian juga masuk dunia fakta yang dapat diobservasi. Dua atau lebih pengamat independen bisa sepakat bahwa hasil observasi mereka itu bernama kebahagiaan.
Ada ukuran yang sama untuk itu.
Positivisme Spiritualitas?
Membaca buku Denny, kita seakan diajak terbang melihat jauh melalui busur waktu dalam evolusi manusia dan peradabannya. Meski tidak setebal Sapiens, ada cerita besar tentang homo sapiens seperti dalam buku Harari itu, hanya diceritakan dari segi apa yang disebut di situ ‘spiritualitas’.
Kalau Harari bilang sapiens adalah mahluk penyebar gosip, Denny menyebutnya mahluk yang berdoa.
Anda salah kalau mengira buku Denny ‘cuma’ sebuah buku motivasi yang beredar di Whatsapp atau Facebook. Kalimat-kalimatnya pendek, luwes, dan mengalir enak. Cerita-cerita, termasuk cerita perjalanannya sendiri, ditaburkan di sana-sini. Tidak perlu mengerutkan dahi untuk membacanya. Tanpa terasa pembaca sudah menikmati laporan ilmiah dalam kemasan cerita ringan.
Namun sementara Anda diyakinkannya untuk bisa mengatasi kekurangbahagiaan, sebaiknya Anda mulai mengerutkan dahi. Kita, orang modern, terlanjur menjadi skeptikus-skeptikus yang memiliki unhappy consciousness.
Ada tiga hal penting yang perlu kita obrolkan di sini, yaitu: cara lihat penulisnya, apa yang sanggup dilihatnya, dan apa yang luput dari penglihatannya.
Pertama, cara lihatnya. Fenomena kebahagiaan didekati dari sudut pengamat, bukan penghayat. Sains, khususnya neuroscience, dipakai untuk menemukan fakta ‘kebahagiaan’ yang dilihat si pengamat atas penghayat yang happy.
Misal, aktifnya parietal cortex membuktikan obyektivitas kebahagiaan. Karena itu Denny yakin dapat melihat kebahagiaan dari punctum Archimedis yang netral.
Hasil observasinya adalah pola yang sangat umum dari kebahagiaan. Kemudian diyakini bahwa sains menemukan ukuran kebahagiaan seperti kalau Newton menemukan hukum gravitasi, Adam Smith menemukan hukum pasar, atau Rawls menemukan keadilan lewat veil of ignorance.
Kebahagiaan bisa dicapai dengan ukuran obyektif yang tak tergantung ras, agama, keyakinan, jender dst. atau – dalam ungkapannya – “satu bumi, satu homo sapiens, dan satu spiritualitas”.
Sebagai suatu petunjuk bijak tentu upaya ini patut diapresiasi karena bukan hanya menguatkan toleransi dan keutamaan warga, tapi juga mendorong kasih persaudaraan universal.
Buku tipis itu ditulis dengan sikap moderat yang realistis. Sebagaimana Auguste Comte di abad ke19 memetakan sejarah universal pengetahuan, Denny mencoba memetakan sejarah universal spiritualitas.
Sambungan antara perasaan bahagia yang subyektif itu dan pengetahuan adalah makna. Penemuan makna itulah yang disebut kebahagiaan. Tuntunan untuk menemukan makna disebut spiritualitas.
Dari batasan-batasan itu, menurutnya sejarah universal spiritualitas bisa dipolakan.
Sejarah tersebut terpola dalam cerita mitos, wahyu, dan sains. Maka penemuan makna hidup alias kebahagiaan juga bertahap, mulai dari sesuai tuntunan mitologi, kemudian tuntunan wahyu, dan akhirnya tuntunan sains.
Denny bukan seorang positivis spiritualitas, seandainya dia menganggap pola umum sejarah spiritualitas itu bukan hukum sejarah. Dia bukan seorang ‘Comte spiritualitas’, seandainya tidak menyusun sejarah itu dengan asumsi bahwa cerita sains itu adalah bab akhir pencarian makna.
Sayang sekali, pengandaian itu sulit disembunyikannya di belakang kalimat-kalimatnya yang menghanyutkan.
Denny memang mengatakan bahwa cerita sains menjadi common ground saja bagi 4300 agama, tidak menggantikan agama. Tapi bagaimanapun common ground ini unggul.
Mitos dan wahyu cuma mengira-ngira kebahagiaan dengan simbol. Tapi sains berhasil memastikannya. Sains sudah menemukan ‘tombol’ kebahagiaan atau “rumah spiritualitas” di wilayah parietal cortex di otak. Wow!
Tunggu dulu. Apakah aktifnya parietal cortex itu penyebab atau akibat kebahagiaan? Jika penyebab, kita memang telah menemukan tombol ajaib untuk membahagiakan dunia.
Tekanlah tombol itu, maka orang depresif batal bunuh diri, karena otaknya sumringah. Tetapi jika akibat, penyebab kebahagiaan tetap masih misterius, sama seperti asal kesadaran.
Karena otak bukan sistem tertutup, penyebab kebahagiaan agaknya juga berada di luarnya.
Keseragaman Pola dan Kemajemukan Isi Kebahagiaan
Pokok obrolan kita yang kedua adalah tentang apa yang sanggup dilihatnya. Denny dapat melihat pola sebagaimana dilaporkan sains. Pola itu tentu saja dilihat dari luar, dari perspektif pengamat.
Meskipun responden mengungkap pengalaman subyektifnya, data pengalaman unik itu lalu dicemplungkan ke dalam kategori abstrak yang memucatkan warna khasnya.
Eureka! Denny menemukan 3P+2S = happiness. Rumus ini pasti bukan determinasi fisika, seperti misalnya Fb = ρ x g x V dari Archimedes, melainkan rangkuman kebijaksanaan hidup yang dibuktikan sains.
Rumus itu mengajarkan spiritualitas dari versi “aku bisa”, seperti banyak digaungkan di ruang-ruang konseling dan training. Inspiratif. Variabel-variabelnya, yakni: personal relationship, positivity, passion (3P) plus small winning, and spiritual blue diamonds (2S) cukup meyakinkan.
Hanya masih bisa dipersoalkan: (1) Apakah 3P+2S bikin happy? (2) Apakah orang happy melakukan 3P+2S? Atau (3) sebetulnya 3P+2S dan kebahagiaan itu timbal balik?
Denny yakin pada yang pertama. Bagaimana memastikan kebenarannya? Jawabnya jelas, “riset membuktikan”.
Ada dua masalah di sini. Pertama, fakta riset adalah ‘pola’ pengamatan, bukan ‘isi’ penghayatan. Kebahagiaan yang diamati tidak lagi dihayati, seperti juga waktu yang diukur bukan lagi waktu yang dialami.
Kedua, kalaupun 3P+2S itu faktual, kenapa harus menjadi tuntunan spiritualitas baru? Menyimpulkan hal normatif dari hal faktual adalah naturalistic fallacy. Kegunaan praktis formula itu tidak perlu diragukan. Tapi kebenaran pragmatis tidak menjamin kebenaran korespondensi.
Dalam kehidupan real, rumus itu tidak datang dari laboratorium, melainkan dari tempaan kehidupan. Tapi manusia tidak hanya diubah ‘dari luar’, melainkan juga ‘dari dalam’ untuk bahagia.
Apa atau siapa yang mengubahnya, akan sangat menentukan jenis kebahagiaannya. Jenis ini majemuk, maka sulit memakai atribut ‘universal’ untuk manusia bahagia.
Kitapun sampai pada pokok ketiga, yakni tentang apa yang luput dari penglihatannya. Kesanggupannya melihat pola harus dibayar dengan keluputannya menangkap isi pola itu yang beragam dan tergantung interpretasi subyektif dan intersubyektif yang sangat beragam dalam gaya, cara, ajaran yang incommensurable.
Beda dari regulasi politis spiritualitas tidak bisa mengabaikan kekhususan pandangan dunia.
Pangkalnya adalah memahami manusia hanya sebagai homo sapiens. Manusia bukan hanya homo sapiens yang universal-organis, melainkan juga Dasein yang singular-eksistensial. Dia tidak cukup bahagia jika 3P+2S itu hanya menjadi kebenaran ilmiah, tetapi tidak pernah menjadi kebenaran eksistensial yang subyektif.
Karena interpretasi subyektif banyak bermain dalam soal makna, jumlah tuntunan bisa lebih atau kurang dari 5 itu, dan dalam tiap variabel di situ ada ratusan atau bahkan ribuan versi.
Kebahagiaan tidak hanya terkait dengan kemampuan untuk memperoleh, tapi juga kerelaan untuk melepaskan, maka spiritualitas tidak hanya dari versi “aku bisa”, melainkan juga “aku berserah”.
Goodness punya banyak arti, lebih daripada yang ditemukan Denny.
Sekali lagi, kegunaan praktisnya tidak perlu diragukan. Tapi tidakkah klaim universalitasnya berlebihan? Sains tentu bisa memaparkan fakta pengalaman membahagiakan, tetapi apakah dari situ harus dijadikan pedoman universal?
Kita pasti ikut bahagia jika umat manusia bisa berbahagia dengan 3P+2S, tetapi temuan positive psychology dan neuroscience itu tidak niscaya menjadi pedoman hidup yang bisa ataupun harus diterima semua orang.
Sains ingin menemukan kebahagiaan obyektif dan stabil yang bebas dari kerentanan manusiawi. Tapi manusia itu rentan terhadap nasib, kata Nussbaum. Sains berjanji untuk menghapus kerentanan itu. Tapi tanpa kerentanan tiada pertumbuhan, dan tanpa pertumbuhan tiada kebahagiaan.
Sains memang dapat melaporkan pola kebahagiaan, tetapi tidak akan sanggup menstabilkan kebahagiaan mahluk yang sudah retak di dalam dirinya. Dibutuhkan kekuatan dari luar untuk mengutuhkannya, dan itu bukan sains.
Penutup
Di samping persoalan yang muncul akibat pembacaan dengan unhappy consciousness di atas, pembaca pasti dapat belajar banyak dari buku Denny, yaitu sebagai “intisari 40 tahun perjalanan spiritual dan intelektual”nya.
Kreativitas intelektualnya tak perlu diragukan. Apakah klaim kebenaran ilmiah tentang rumus kebahagiaan dapat menyakinkan unhappy consciousness pembaca modern, masih terbuka untuk diskusi.
Kebahagiaan yang dihayati ‘tidak sepenuhnya’ bisa diwakili oleh laporan observasi ilmiah, sama seperti waktu bisa diukur tanpa diketahui apa itu. Mungkin kebahagiaan adalah sang waktu sendiri, ketika tidak diukur, melainkan dialami.
Otak memberi sinyal atas sesuatu yang raib begitu otak mengamati dirinya sendiri.
Terimakasih, Denny, sungguh saya menikmati buku itu.***
Sumber tulisan: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/3134281893334605/?d=n
-000-