Ketika Keluarga Disabilitas Dituduh Tanpa Diberi Ruang Membela Diri

  • Whatsapp
Ketika keluarga disabilitas diituduh tanpa diberi ruang membela diri

Jakarta, beritalima.com|-  Sebuah kisah nyata dialami oleh pasangan keluarga disabilitas yang dituduh melakukan sesuatu yang tidak mengenakkan, namun tak diberi hak untuk membela diri

Hal ini dialami pasangan suami isteri disabilitas netra, dimana anaknya (kondisi normal), 11 tahun, dituduh mengambil alat pancing milik tetangganya (15/12).

Abdul Hadi, sebagai seorang ayah dan kepala keluarga begitu terkejut mendengar Khabar anaknya melakukan hal yang tidak sepatutnya. Salah satu tetangganya, di kawasan Setu, Cipayung, Jakarta Timur, datang ke rumah Abdul Hadi dan langsung menuduh anaknya mencuri alat pancing, tanpa penjelasan maupun bukti.

“Si penuduh datang ke rumah dan menuding anak mengambil alat pancing. Anak saya dituduh, dicecar selama 45 menit, namun konsisten menyatakan tidak mengambil,” kisah Hadi.

Menanggapi hal itu, saya dan anak mendatangi rumah penuduh tanpa pendampingan. Tuduhan tetap dilontarkan meski tidak ada bukti maupun saksi.

Fakta tambahan, dari rekaman CCTV menunjukkan alat pancing tersebut bukan milik penuduh, melainkan milik orang lain.

Sekedar info, Keluarga difabel netra ini telah tinggal di lingkungan tersebut selama enam tahun. Namun, mereka mengaku kurang mendapat rasa hormat dari sebagian warga. Sebelumnya, keluarga juga pernah mengalami kasus tidak menyenangkan terkait kondisi disabilitas, meski dinyatakan selesai oleh semua pihak.

Kasus ini menyoroti bagaimana tuduhan tanpa bukti dapat menciptakan trauma, memperburuk relasi sosial, dan menambah beban psikologis bagi keluarga difabel.

Dari peristiwa ini, hal yang perlu dijadikan pelajaran antara lain, apakah sistem sosial kita cukup responsif melindungi hak-hak difabel dari stigma? Sejauh mana aparat penegak hukum dan warga menerapkan keadilan sosial berbasis bukti di tingkat komunitas? Bagaimana memastikan pendampingan netral dalam kasus yang melibatkan anak dan keluarga difabel?

Sebagai difabel netra, sangat penting adanya ruang aman untuk berbicara, dipercaya, dan didengar. Inklusivitas bukan sekadar slogan, melainkan praktik nyata saat konflik kecil diselesaikan dengan empati dan prosedur yang jelas.

Terlihat disini, belum ada mekanisme mediasi berbasis bukti di tingkat RT/RW. Minim pendampingan untuk pihak difabel , karena mediasi tanpa fasilitator netral, membuka peluang tekanan psikologis.  Dan, kurangnya tabayyun (klarifikasi) memperbesar risiko salah tuduh.

Peristiwa ini juga menjadi sarana pendidikan untuk warga agar memahami adanya hak difabel dan etika komunikasi. Sehingga saat muncul pertikaian, jika terbukti salah tuduh, fasilitasi permintaan maaf terbuka dan pemulihan nama baik korban yang dituduh .

Peristiwa di Setu, Cipayung ini menjadi momentum untuk membangun lingkungan yang lebih adil, inklusif, dan penuh empati. Mari bersama menciptakan ruang aman bagi semua warga, tanpa kecuali.

Jurnalis: abdul hadi (difabel netra) dan abri.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait