Ketika Suami Istri Menyengketakan Hak Asuh Anak

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim PTA Banjarmasin)

Salah satu akibat perceraian yang sering terjadi adalah ketika mantan suami istri ‘memperebutkan’ hak asuh anak. Sikap demikian tentu wajar, karena bagaimana mungkin mereka harus berpisah dengan darah daging, yaitu si buah hati yang selama ini sangat disayangi. Masing-masing (suami istri) dalam hati seolah saling berkomitmen, kalau pun harus kehilangan pasangan tidaklah mengapa, asal jangan pula kehilangan buah hati yang akan menjadi pelipur lara kelak di hari tua.

Dengan latar belakang tersebut, ketika kedua orang tua saling memperebutkan hak asuh asuh anak Ketika bercerai, sejatinya sering dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang irasional. Masing-masing saling mengedepankan aneka emosi, seperti marah, jijik, takut, dan sedih. Apalagi, Ketika masing-masing pihak mengaitkannya dengan penyebab mereka bercerai. Pada saat demikian, masing-masing masih dalam suasana marah karena merasa frustasi, disakiti, atau diperlakukan tidak adil. Masing-masing juga saling merasa jijik, karena merasa enggan atau tidak suka terhadap mantannya yang telah melukai perasaannya. Masing-masing juga merasa takut, yaitu ketika merasa terancam kalua-kalau anaknya kelak–saat mantan suami/istri tersebut harus berada di hari tua–berpihak hanya kepada salah satu pihak: ayah atau ibunya. Masing-masing juga akan merasa sedih jika harus kehilangan buah hati yang selama ini sangat disayangi.

Lantas bagaimana hukum memandang hal tersebut?
Pasal 45 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 memberikan ketentuan sebagai berikut:
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dengan demikian, UU Perkawinan tampaknya tidak mengatur secara khusus siapa yang berhak untuk mendapatkan hak asuh anak melainkan hanya mengatur, bahwa kedua belah pihak tetap wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya. Jika kemudian ada perselisihan hak asuh anak, pengadilanlah yang akan memberikan keputusannya.

Setelah Kompilasi Hukum Islam (KHI) diterbitkan, dalam hal ini dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 terdapat sedikit kejelasan tentang siapa yang lebih berhak untuk mengasuh anak di bawah umur.
Pada Pasal 156 KHI, antara lain dinyatakan:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
Dari KHI tersebut dapat diketahui, bahwa kaitannya dengan hak asuh ini, ibu (mantan istri) dan/ atau wanita memang mendapat peluang lebih besar, baik wanita itu dari jalur ibu maupun dari ayah. Hal demikian juga telah direspon, antara lain, oleh Putusan MA No. 102 K/Sip/1973. Kaidah hukum yang terkandung pada putusan tersebut adalah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak yang masih kecil. Perkecualian dimungkinkan, hanya apabila sang ibu tersebut terbukti tidak wajar untuk memelihara/ melakukan pengasuhan anak di bawah umur tersebut.
Tentang mengapa ibu atau perempuan lebih diutamakan menjadi pengasuh anak di bawah umur memang telah banyak kajian yang mendukung teori demikian.
Di zaman dahulu, Khalifah Abu Bakar saat diadukan perkara hak asuh, beliau memenangkan perempuan dan mengalahkan Umar bin Khattab yang sebelumnya berebut hak asuh anak di bawah umur dengan sang mantan istri tersebut.
Pertanyaan yang sering muncul, apakah teori demikian berlaku umum, tanpa pengecualian?

Pada sebuah studi yang dilakukan di Oxford University ternyata ditemukan teori baru. Menurut studi tersebut, ayah yang mengasuh dan mau berinteraksi dengan anak secara baik akan memiliki kedekatan yang mengesankan. Anak yang diasuh oleh ayah ini nantinya juga akan terbentuk menjadi anak yang penuh percaya diri, anak yang pemberani dan anak yang cerdas. Penelitian dengan sampel 129 keluarga di AS ini menemukan kesimpulan, bahwa anak yang diasuh dan dekat dengan sosok ayah biasanya akan tumbuh menjadi pribadi yang tenang dan mengesankan. Sosok ayah yang dekat dengan anak juga akan membuat anak menyayanginya dengan tulus. Anak pun akan memiliki emosional yang mengesankan. Bayi yang sewaktu kecil sering diasuh dan berinteraksi dengan ayah dikatakan cenderung memiliki tingkah laku yang terpuji, lebih peduli terhadap orang lain dan lebih percaya diri. Meski begitu, anak yang tidak dekat dengan sosok ayah namun memiliki ibu yang mengesankan, ia pun akan tumbuh menjadi seseorang yang penuh percaya diri dan mengesankan.
Yang menarik, menurut studi ini, anak yang dekat dengan ibu adalah suatu hal yang biasa saja. Hal ini terjadi karena ibu adalah seseorang yang lebih banyak berinteraksi dengan anak bahkan saat ia masih di dalam kandungan atau saat ia masih bayi. Sementara itu, anak yang dekat dengan ayah dikatakan suatu hal yang sangat luar biasa. Ketika anak dengan dekat ayah, ini membuktikan bahwa ayah melakukan interaksi dan pengasuhan serta perawatan yang baik.

Yang hendak kita katakan dari dua teori tentang hak asuh tersebut, bahwa baik potensi positif maupun negatif, bisa muncul dari kedua belah pihak: mantan istri atau mantan suami. Oleh karena itu, dalam hal hak asuh ini, pandangan yang mengatakan “semata-semata demi kepentingan terbaik bagi si anak”, merupakan pandangan yang paling tepat. Pada akhirnya, dalam penentuan hak asuh ini, menjadi tanggung jawab hukum sekaligus tanggung jawab moral hakimlah, ketika dua pilihan yang sama-sama ekstrim (harus ikut ibu atau ayah).
Satu hal yang sering kurang disadari oleh kebanyakan mantan suami istri, bahwa sikap egois, saat mereka memperebutkan hak asuh–apalagi dengan suasana seperti ‘peperangan’ terbuka–dapat memengaruhi kondisi psikologi anak-anak. Dampak psikologis bagi anak, akibat perebutan hak asuh bisa bermacam-macam. Menurut para ahli, dampak psikologis tersebut, antara lain, sebagai berikut:
• Kebingungan
Kebingungan dapat dialami oleh anak yang diperebutkan oleh orang tua yang bercerai. Setiap anak memiliki momen indah bersama ayah dan ibunya. Saat dihadapkan dalam pilihan, anak pasti akan bingung ingin memilih yang mana. Karena pada dasarnya anak ingin memiliki keduanya, yaitu ayah dan ibunya.
• Ketakutan
Perseteruan yang terjadi antara ayah dan ibu sebenarnya membuat anak merasa ketakutan. Sebab anak jadi merasa kehilangan sosok pelindung ketika kedua orang tuanya sedang sibuk ‘berperang’ memperebutkan hak asuh.
• Kurang rasa percaya diri
Anak korban perceraian biasanya memiliki rasa percaya diri yang lebih rendah disbanding anak yang kedua orang tuanya tidak bercerai. Sebab, bisa saja isu perceraian orang tuanya menjadi buah bibir di sekolah atau lingkungan pergaulan teman-temannya.
• Kurangnya rasa percaya terhadap orang tua
Kurangnya rasa percaya terhadap orang tua disebabkan oleh kebiasaan orang tua yang berusaha menarik hati saat memperebutkan hak asuh dengan cara membeberkan kekurangan masing-masing pasangan. Berharap mendapatkan kepercayaan dari anak, cara ini justru dapat menurunkan rasa kepercayaan anak kepada orang tuanya.
• Depresi
Saat kondisi mental anak belum siap menerima perceraian dan ditambah lagi dengan perang perebutan hak asuh, terkadang anak dapat menjadi depresi. Hal yang dikhawatirkan adalah pelarian negatif dari depresi yang terjadi pada anak. (https://www.klikdokter.com/)
Semoga paparan ini menjadi renungan para hakim dan masyarakat.

beritalima.com

Pos terkait