JAKARTA, beritalima.com – Focus Group Discussion biasa dilakukan Fraksi PKS DPR RI, kali ini mengetengahkan tentang ‘Perlindungan Kepentigan Publik Dalam Kebijakan Pertanahan di Indonesia’. Kegiatan ini diselenggarakan di ruang pleno PKS, pada 7 Juni 2017.
Namun dikatakan Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, ketika melihat banyak kasus pertanahan di Indonesia. Fraksi PKS mengingatkan pemerintah dan aparat penegak hukum agar memprioritaskan kepentingan publik dalam penyelesaian konflik – konflik pertanahan, yang tentunya menurutnya dalam proses harus berkeadilan.
Sedangkan Jazuli menyatakan bahwa data yang diterima, menunjukkan peningkatan tajam konflik pertanahan. Tahun 2015 konflik agraria mencapai 400.430 hektar. Sedangkan tahun 2016, konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat wilayah yang menjadi titik konflik agraria mencapai 1,26 juta ha. Hal itu katanya meningkat tiga kali lipat, dibandingkan pada tahun 2015.
“Tiga sektor besar konflik agraria selama tahun 2016 adalah sektor perkebunan 163 konflik, properti 117 konflik, dan infrastruktur 100 konflik,” pungkas Jazuli dihadapan narasumber Dr. Mardani Ali Sera, M.Eng, Dr. Sofyan A. Djalil, SH Menteri ATR RI, Prof. Arie Sukanti Hutagalung, SH.MLI, Dewi Kartika Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria.
Masih dikatakan Jazuli, anggota Komisi I DPR RI ini, prioritaz kepentingan publik dalam kebijakan pertanahan memiliki landasan konstitusional yang sangat kuat, yaitu Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Yang secara jelas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Pasal ini yang paling berat realisasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat dihadapkan dengan masifnya sistem ekonomi yang liberal – kapitalistik. Mudah sekali tujuan kemakmuran rakyat dikalahkan oleh kepentingan kapital/pemilik modal. Sayangnya Negara acapkali tumpul pembelaannya pada rakyat atas nama investasi dan pembangunan,” terangnya.
Anggota DPR Dapil Banten III pun menyoroti implementasi Pasal 33 berupa UU Pokok Agraria (UUPA) No.5/1060 yang sebenarnya sangat kuat keberpihakan pada rakyat.
“UUPA ini karakternya sangat kuat prorakyat, populis, dan berpihak pada hukum adat (tanah ulayat). Sayang UU ini tidak sepenuhnya dijalankan, tidak dipedomani, dan banyak penyimpangan,“ tandas Jazuli.
Untuk menguatkan UUPA kembali, lanjut Jazuli. pada awal-awal reformasi 1998 lahir Ketetapan MPR No. IX Tahun 2001 tentang Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP MPR ini menjadi landasan peraturan perundang-undangan di bidang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
“Namun realitasnya kebijakan agraria/pertanahan yang prorakyat masih belum sepenuhnya terealisir sesuai amanat UUD. Buktinya konflik-konflik pertanahan justru meningkat tajam,” ujarnya.
Lebih lanjut diterangkan Jazuli, ada dua nilai penting, yaitu pertama, FGD ini penting agar kita tidak kehilangan ruh/semangat konstitusi Pasal 33 dan UUPA yang hingga kini masih berlaku, yaitu bumi Indonesia ini harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, serta memastikan semua kebijakan pertanahaan diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat.
Kedua, FGD ini juga penting untuk mendapatkan pandangan yang utuh dan menyeluruh atas problematika pengelolaan pertanahan di Indonesia, langkah-langkah penyelesaian yang sudah dilakukan, kelemahan kebijakan dan lapangan, serta rekomendasi solusi yang tuntas dan konfrehensif.
“Saya mendengar tanah yang dimiliki bangsa Indonesia 80%, sedangkan 20% dimiliki asing,” imbuhnya. dedy mulyadi