Jakarta— Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bersama Presiden the Global Council for Tolerance and Peace/GCTP (Dewan Toleransi dan Perdamaian Global) H.E Mr. Ahmed Bin Mohamed Aljarwan menandatangani nota kesepahaman tentang Penyebarluasan Budaya Toleransi dan Perdamaian.
Ruang lingkup kerjasama tersebut antara lain, MPR RI dan GCTP akan menjalin hubungan untuk saling bertukar isu keparlemenan dalam bidang toleransi dan perdamaian, berkonsultasi dan saling membantu untuk membahas berbagai isu yang menjadi kepentingan bersama di bidang toleransi dan perdamaian, mengambil berbagai langkah untuk mengembangkan kerjasama parlemen dalam berbagai arsip yang mewakili kepentingan bersama di bidang toleransi dan perdamaian serta berkonsultasi apabila diperlukan, khususnya saat menyelenggarakan berbagai acara bersama dan kolaboratif.
“Sebagai Rumah Besar Kebangsaan yang terdiri dari anggota DPR RI dan DPD RI, MPR RI memiliki program penguatan karakter bangsa dan pembangunan wawasan kebangsaan, melalui program Sosialisasi Empat Pilar MPR RI. Melalui program ini, kami memasyarakatkan nilai-nilai kearifan lokal kepada segenap elemen bangsa, termasuk nilai-nilai toleransi dan perdamaian,” ujar Bamsoet usai menandatangani nota kesepahaman antara MPR RI dengan GCTP, di Ruang Kerja Ketua MPR RI, Gedung Nusantara III Komplek MPR RI/DPR RI/DPD RI, Jakarta, Selasa (8/8/23).
Turut hadir antara lain, Anggota MPR RI sekaligus Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Golkar Dave Laksono, Direktur Wahid Institute yang juga Pendiri GCTP Yenny Wahid, serta Manajer Kantor President GCTP Farres Mekky.
Bamsoet menjelaskan, delapan pendiri GCTP antara lain, Indonesia, Amerika Serikat, Argentina, Uni Emirat Arab, Comoros, Albania, India dan Mesir. Kantor pusat di pulau Malta dan kantor penghubung di seluruh dunia. Misi utama GCTP adalah menyebarkan budaya toleransi untuk mencapai perdamaian dunia.
Saat ini, GCTP beranggotakan berbagai tokoh perdamaian dunia dari sekitar 50 negara, termasuk Indonesia. Perjuangan GCTP fokus pada penangkalan bahaya terorisme, fanatisme, kebencian, pembersihan etnis, sektarianisme, dan ekstremisme ras. Berbagai paham tersebut tumbuh dan berkembang seperti kanker yang membahayakan perdamaian dunia.
“Kerjasama MPR RI dengan GCTP tidak lain karena Indonesia dipandang sebagai negara besar yang telah mendapat pengakuan sebagai negara toleran di dunia. Diharapkan sikap toleransi yang berkembang di Indonesia, bisa ditularkan ke berbagai negara lain untuk mewujudkan perdamaian dunia,” jelas Bamsoet.
Bamsoet menekankan, pentingnya merawat toleransi juga tidak lepas dari kondisi global yang saat ini terus memprihatinkan. Terlihat dari indeks perdamaian global yang terus memburuk dan mengalami penurunan hingga 3,2 persen selama kurun waktu 14 tahun terakhir, sebagaimana terungkap dari rilis Institut Ekonomi dan Perdamaian (Institute for Economics and Peace).
“Saat ini, ketika kita sedang mendorong komitmen global untuk menjaga semangat perdamaian, di belahan bumi yang lain, konflik bersenjata juga masih terus berkecamuk. Tidak hanya perang Rusia dan Ukraina yang mengakibatkan ratusan ribu korban tewas dan puluhan juta warga mengungsi, melainkan juga di beberapa negara lainnya yang hingga saat ini masih berjibaku menghadapi konflik,” tandas Bamsoet.
Menuruy Bamsoet intoleransi juga telah menyebabkan kebebasan beragama di seluruh dunia mengalami tekanan. Banyak negara termasuk negara-negara maju di Eropa, masing-masing pernah mengalami masa dimana kekerasan atas nama agama menjadi bagian dari sejarah kelam. Karena itu, sangat penting untuk senantiasa mengkampanyekan sikap toleransi yang juga dibarengi dengan moderasi dalam kehidupan beragama.
“Moderasi dalam kehidupan beragama tidak dimaknai untuk mengabaikan ajaran nilai-nilai agama. Karena sesungguhnya nilai-nilai agama akan selalu melekat dan mewarnai kehidupan keseharian kita, yang mengajarkan kita untuk menjaga hubungan silaturahmi yang harmonis dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan,” pungkas Bamsoet. (ar)