JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Komisi XI DPR RI, Dr Hj Anis Byarwati mengatakan, penting memahami filosofis dan ideologis dari Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (RUU HKPD) yang sedang dibahas di Parlemen.
Itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) mendengar masukan dari pakar di Jakarta pertengahan pekan ini. Pakar yang hadir dalam RDPU ini Prof Purwo Santoso dan Prof Wihana Kirana, keduanya akademisi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta. “RDPU selain membahas detail konten RUU HKPD, kita perlu memahami framework dan ruhnya,” tegas Anis.
Ditambahkan Ketua DPP PKS bidang Ekonomi&Keuangan ini, framework yang menjadi batasan lingkup pembahasan RUU, semestinya disimpan di awal.
Berdasarkan indikator yang dipaparkan para pakar, desentralisasi yang dilakukan Pemerintah selama ini masih bersifat parsial.
Desentralisasi masih berjalan parsial baik dari sisi desentralisasi politik, administratif maupun fiskal sehingga tujuan dari desentralisasi fiskal belum sepenuhnya tercapai.
Contoh, untuk mengatasi kesenjangan antara pusat dengan daerah, belum nampak hasil signifikan. Bahkan berdasarkan analisis Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics/NIE) yang disampaikan para pakar, yang terhitung kuat (strong) sejak zaman penjajahan hingga kini hanya unsur korupsi.
Unsur lain seperti biaya transaksi (transaction cost), hak milik (proverty right) dan insentif memiliki indicator sedang (moderate) dan kebanyakan lemah (weak). ”Indikator ini sangat memprihatinkan,” pemegang gelar S3 ekonomi lulusan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini.
Anis yang juga menjabat Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga memaparkan, Indonesia yang merupakan satu gugusan besar, terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, dalam hubungan keuangan pusat dan daerah tidak bisa diatur dengan hubungan yang terlalu sederhana.
“Hubungan keuangan pusat dan daerah di Indonesia perlu menggunakan strategi khusus sesuai keragaman daerah. Tidak cukup hubungannya disederhanakan menjadi hubungan pusat dengan daerah,” ungkap Anis.
Melanjutkan pandangannya, Anis mengungkapkan, wawasan tentang Indonesia itu semestinya menjadi framework dalam merumuskan RUU HKPD. Pemahaman ini didahulukan sebelum masuk ke dalam pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
“Jika tidak memahami jiwa, ruh dan framework RUU ini, kita akan terjebak pada alur apa yang perlu dirubah, apa yang tidak perlu dirubah, dan pekerjaan teknis lainnya,” tutur Anis.
Karena itu, perubahan UU seringkali tak membawa solusi karena banyak terjebak pada pembahasan teknis tanpa memaknai jiwa dari UU tersebut.
Sebab itu, Anis berharap agar RUU HKPD yang sedang dibahas tak hanya sekedar bicara pasal tapi benar-benar memperbaiki pola hubungan antara Pusat dan Daerah.
Dengan wilayah Indonesia yang begitu luas, Pemerintah Pusat perlu membangun hubungan menggunakan pendekatan yang lebih humanis dengan Pemerintah Daerah sehingga fungsinya seperti ayah yang membuat anak-anaknya sejahtera. Bukan ayah yang membuat anaknya terlantar.
“Orientasi hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah jangan hanya hubungan birokrasi, akan tetapi perlu dibangun sebagai hubungan keluarga besar bangsa Indonesia,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)