Oleh: Saiful Huda Ems
Khilafah atau dalam Bhs Arabnya Al-Khilafah adalah sebuah sistem kepemimpinan yang dipercayai oleh sebagian umat Islam yang lebih tepat untuk dapat menerapkan hukum-hukum Islam melalui dakwah-dakwahnya di seluruh penjuru dunia, sedangkan orang yang memimpinnya disebut dengan Khalifah. Menurut Ahmad Moussalli seorang ilmuwan politik Islam dari Lebanon yang banyak meneliti tentang sekte-sekte dalam Islam dan kompatibilitas demokrasi dengan Islam, Khilafah di dalam sejarah memiliki landasan moral yang kuat yang memperbolehkan adanya penggunaan kekerasan dalam politik. Oleh karenanya, gagasan Khilafah “klasik” seperti itu, walaupun secara kasat mata menghormati keadilan, kesamarataan dan kesejahteraan umat, namun dalam prakteknya akan sangat elitis hingga dapat merusak sistem itu sendiri.
Secara teori, umat memiliki hak yang kuat, namun secara praktik: 1)kekuasaan pemimpin tidak tersentuh oleh umat, 2) hak dan keadilan yang diberikan kepada umat didefinisikan oleh kelompok elit bernama ahl al-hall wa-l’aqd sehingga bukan merupakan kepentingan yang diserap langsung dari umat, dan 3) tidak adanya jaminan perlindungan kepada hak kelompok minoritas. Permasalahan ini kemudian dikonfrontasikan oleh Moussalli dengan gagasan demokrasi, yang menurutnya meskipun sistem demokrasi datang dari Barat tetapi yang terbaik bagi kesejahteraan umat, karena sistem Islam dapat dikompatibelkan dengan demokrasi. Jadi singkat kata, kritik Moussalli terhadap Khilafah adalah bahwa sistem elitis yang khas dalam khilafah-kerajaan justru bertentangan dengan nilai-nilai kemaslakhatan umat dalam Islam itu sendiri.
Pada dasarnya Khilafah jika melihat dari sejarahnya sebenarnya menurut hemat pandangan saya tidaklah bermasalah, atau setidaknya masih dapat diperdebatkan, namun dalam perkembangannya ketika Khilafah sudah berubah terlalu jauh menjadi sebuah ideologi politik bahkan kemudian berkembang menjadi gerakan partai politik, yakni Hizbut Tahrir (HT) yang dimotori oleh ulama politisi kelahiran Palestina 1909 M, yakni Syaikh Taqiyuddin al-Nahbani yang mendirikan HT di Amman, Yordania pada tahun 1953, ideologi Khilafah ini sangat berbahaya sekali. Syaikh Taqiyuddin yang filosofi politik dan relegiusnya awalnya dibentuk oleh Ikhwanul Muslimin (IM), yakni sebuah organisasi fundamentalis asal Mesir yang didirikan pada tahun 1928, malah menganggap ideologi IM terlalu moderat dan terlalu mengakomodir dari Barat. Jika para pemikir IM lainnya percaya bahwa kekurangan Islam dapat dikalahkan oleh sebuah kebijakan nasionalis atau ekonomi, Taqiyuddin pelopor ideologi Khilafah ini malah menegaskan bahwa Islam hanya dapat dihidupkan kembali jika dianggap sebagai panduan konperehensif untuk kehidupan sehari-hari yang merupakan campuran respon kekerasan Islam terhadap dominasi Barat dan bentukan paham Sosialis, Nasionalis, Partisan, Regional dan Sektarian. (Dr. Sri Yunanto M.Si, Negara Khilafah vs NKRI, hal. 101-102).
Ideologi Khilafah meski sebenarnya telah ditolak oleh banyak negara, tak terkecuali di Timur Tengah apalagi Eropa dan di negara Asia lainnya, ia tidak terlalu mendapatkan perlawanan ideologis yang cukup berarti di negara-negara tsb, hal ini karena Ideologi Khilafah–yang sebenarnya merupakan mesin ideologis dari partai politik Hizbut Tahrir–selalu tampil bagai Bunglon. Ia bisa menjelma apa saja, kadang jadi Parpol kadang jadi ORMAS hingga sebagai sebuah faham ia susah dilenyapkan. Baru di Indonesia ideologi khilafah yang mewujud menjadi ORMAS Hizbut Tahrir Indonesia, ia mendapatkan perlawanan yang sangat dahsyat, baik sebelum maupun sesudah ORMAS ini dibubarkan atau kami kalahkan di PTUN Jakarta. Ini semua berkat perjuangan ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU) di masa lalu, yang dengan cerdas dan lihai membenahi konsepsi kenegaraan kita (Indonesia) sebelum mereka fokus terlebih dahulu membenahi pemikiran Islam, meskipun dalam catatan sejarah baru pada era tahun 80 an NU secara resmi sepakat menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal Negara. Dan keterlambatan itu terjadi, tidak lain karena NU sebelumnya telah berjibaku, bergelut dengan masuknya pengaruh ideologi bunglon Khilafah di negara ini, hingga sebagai gerakan politik ia tidak bisa dengan mudah mengusai negara. Karenanya jika Khilafah di banyak negara lain ditolak, namun di Indonesia ia tertolak, sebab kaum muslimin di negeri ini sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi politik dari para ulama NU yang hebat-hebat itu. Jika sekarang Khilafah masih saja ada pengikutnya, berarti mereka orang-orang yang telmi atau telat mikir dan juga tuna sejarah.
Ideologi Khilafah yang di Indonesia ini bertopeng menjadi ORMAS Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan melakukan gerakan politik yang bertopeng menyebarkan dakwah dengan ideologi politik yakni: daulah khilafah Islamiyah yang anti demokrasi dan HAM. Sebagai gerakan politik HTI sering melakukan gerakan elitis yang menggunakan ajaran Islam secara radikal dan menggunakan konsep teologi guna memberikan pembenaran terhadap paham politik yang disebarluaskannya. Karakteristik radikal bisa dilihat dalam pandangannya, bahwa semua negara saat ini dianggapnya sebagai dar al-kufr (rumah orang-orang kafir) dan dar al-harb (rumah yang bisa diperangi) karena dianggapnya tidak menerapkan bentuk pemerintahan sebagaimana yang diajarkan oleh Islam. Karena itu mereka ingin mewujudkan dar al-Islam (rumah Islam), hingga siapapun yang menghalanginya dianggapnya halal untuk dihabisi. Jika demikian, mungkinkah ideologi bunglon ini bisa diterimah di Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai agama dan kepercayaannya? Tidak susah bukan menjawabnya? Wallahu a’lam bishawab…(SHE).
28 Juli 2019.
Saiful Huda Ems (SHE). Advokat dan penulis, Ketua Umum Pimpinan Pusat HARIMAU JOKOWI yang merupakan salah satu kuasa hukum Kementrian Hukum dan HAM RI yang memenangkan perkara atas gugatan HTI di PTUN Jakarta.