Sabila, panggilan akrabnya, lulusan Madrasah Aliyah (MA) Unggulan Amanatul Ummah Surabaya. Gadis kelahiran 30 Juli 2001 ini diterima di UNAIR melalui jalur SNMPTN, dan tercatat sebagai calon mahasiswa termuda Universitas Airlangga sepanjang sejarah Unair.
Menurut ibunya, Ny Menik Sugiarti, pada usia kurang dari lima tahun Sabila sudah duduk di bangku SD. Jenjang SMP dan SMA ditempuh Sabila dengan jalur percepatan atau akselerasi, sehingga pada usia 14 tahun telah lulus SMA dan diterima di perguruan tinggi ini.
“Sejak kelas dua SD Sabila selalu masuk peringkat dua besar di kelasnya,” tutur Ny Menik Sugiarti.
Selain terhitung pandai, Sabila juga tergolong aktif mengikuti kegiatan ekstra kurikuler di sekolah. Ia ikut ektra kurikuler simulasi cerdas cermat dan Tari Saman.
Santriwati yang sudah hafal Al Quran lima juz tersebut pernah Juara I Lomba MTQ Cabang Tahfidz Quran yang diadakan Yayasan Ammanatul Ummah Surabaya. Hadi Nurkholik, ayah Sabila, adalah guru Bahasa Arab di Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) Masjid Agung Sunan Ampel, Surabaya.
Menurut Menik, sebetulnya Sabila ingin melanjutkan studi Sastra Arab di Maroko. Namun atas dorongan orang tua dan pamannya yang dosen Unair, Sabila mengambil pilihan di Unair.
Sabila sendiri saat ini masih menjalani pendidikan di Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Siwalankerto, Surabaya. “Sebagai orangtua, jangan sampai anak terlalu ‘dipres’ (ditekan – Red). Saya selalu memberikan motivasi, jadilah diri sendiri, jangan jadi orang lain,” pesan ibu Sabila.
Selain Sabila, satu lagi calon mahasiswa termuda di Unair adalah Rania Tasya Ifadha. Gadis yang akrab disapa Iren ini, yang usianya terpaut beberapa bulan lebih dulu dari Sabila, diterima di Fakultas Kedokteran (FK) Unair melalui jalur SNMPTN 2016 juga. Lulusan SMAN 3 Semarang ini kelahiran 17 Februari 2001.
“Mulai usia dua tahun saya sudah disekolahkan di PAUD. Usia tiga tahun saya masuk TK selama dua tahun. Usia lima tahun saya sudah masuk SD dan lulus pada di usia 11 tahun,” ujar Iren.
Iren menuturkan, saat SMP dan SMA ia mengambil program percepatan atau akselerasi, sehingga di usia 15 tahun lebih 2 bulan sudah lulus SMA. Dan ia diterima pada Program Studi Pendidikan Dokter Unair, menurutnya, sesuai cita-citanya yang ingin jadi dokter.
Ditanya mengenai manajemen waktu, ia bilang harus pandai mengatur antara belajar dan istirahat. “Porsi waktu untuk belajar dan istirahat sesuai yang saya butuhkan. Waktunya belajar ya semaksimal mungkin saya manfaatkan untuk itu. Jika waktunya istirahat, ya benar-benar untuk refreshing, sehingga ketika kembali belajar bisa fokus,” jelas sulung dari dua anak pasutri Hasanudin dan Suhartini ini.
Iren tekankan, yang paling penting dalam setiap proses yang dilalui adalah dorongan diri sendiri untuk meraih cita-cita yang diinginkan sejak kecil. Dan sampai saat ini ia tetap mengikuti bimbingan belajar meski telah diterima di FK UNAIR.
“Saya masih les di bimbingan belajar, karena sebelum Ujian Nasional sudah mendaftar. Selain itu saya juga masih aktif mengikuti ekstrakurikuler Forum Diskusi dan English Club di SMA saya,” ungkapnya.
Suhartini, sang ibu, mengaku sangat mendukung Iren hingga bisa menempuh studi di perguruan tinggi dengan waktu yang relatif cepat. Disebutkan, bapak Iren adalah pelaut, dan ketika cuti dimanfaat untuk mengajar di kampus Akademi Maritim Nasional Indonesia (AMNI).
“Kami mendukung dengan memfasilitasi kebutuhan sekolah Iren, mendukung cita-cita Iren menjadi dokter,” kata Suhartini, ibu Iren yang bekerja sebagai perias pengantin. (Ganefo)