Kisah Kesultanan Pontianak Bagian NKRI, Didirikan Syarif Abdurahman Al-Qadri

  • Whatsapp
KETERANGAN FOTO : Sultan Pontianak ke-IX, Paduka Yang Mulia (PDM) Sultan Syarif Mahmud Melvin Alkadrie menjelaskan sejarah Keraton Kadriah Kesultanan Pontianak, kepada Ketua DPD RI, Minggu (13/6)

JAKARTA, Beritalima.com– Kesultanan Pontianak memiliki sejarah sangat panjang hingga akhirnya menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesultanan Melayu ini didirikan Sultan Syarif Abdurahman Al-Qadri 1771. Dan, banyak berjuang melawan penjajah di era kemerdekaan serta menyebarkan agama Islam di Kalimantan.

Kerajaan di Pontianak berawal saat Syarif Abdurahman menjejakkan kaki di tepian pertemuan Sungai Kapuas Kecil, Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Saat itu, ia baru berusia 32 tahun.

Sultan Syarif merupakan putra Al Habib Husin Al-Qadri, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal dari Arab. Ibunda Sultan Syarif seorang putri Kerajaan Matan, dan istrinya adalah putri Kerajaan Mempawah.

Saat itu, Sultan Syarif membuka hutan, menjadikan sebagai permukiman. Karena itu, dia dikenal sebagai pendiri Kota Pontianak, saat ini menjadi ibu kota Kalimantan Barat. Berkat kepemimpinan beliau, Pontianak tumbuh menjadi kota perdagangan dan pelabuhan. Dia dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Pontianak.

Pada 1779, Kesultanan Pontianak menjalin kerjasama dengan Belanda. Isinya, pemerintahan Tanah Seribu bersedia bekerja sama jika penguasaan Belanda memberi keuntungan bagi masyarakat.

Masa pemerintahan Sultan, Kerajaan Pontianak kehilangan eksistensi, tepatnya pada 1930-an. Ditambah lagi dengan datangnya Jepang ke tanah Pontianak 1942. Saat penjajahan Jepang, sejumlah kerajaan di Kalimantan Barat dihancurkan, termasuk Pontianak. Penangkapan, penyiksaan hingga pembunuhan masyarakat, yang berlangsung September 1943- Januari 1944.

Selama pemerintahan Jepang, Kesultanan Pontianak luluh lantak. Hampir semua pemuka adat dibantai Jepang, termasuk pimpinan Kesultanan Pontianak kala itu, Sultan Syarif. Peristiwa tragis yang menimpa kerajaan di Kalimantan Barat ini dikenal sebagai peristiwa Mandor.

Peristiwa Mandor membuat masyarakat Pontianak marah hingga terjadilah Perang Dayak Desa. Sultan Syarif Muhammad tewas dibantai penjajah Jepang, putranya bernama Sultan Syarif Abdul Hamid Alkadrie atau dikenal dengan nama Hamid II selamat dan dibawa ke Batavia menjadi tawanan Jepang. Ia dibebaskan usai Indonesia merdeka 17 Agustus 1945.

Dengan adanya proklamasi kemerdekaan, Sultan Hamid II menggabungkan wilayah kesultanannya menjadi bagian dari Indonesia diikuti kerajaan lain di Kalimantan.

Saat dibentuk Republik Indonesia Serikat, Sultan Hamid II menjabat sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat. Ia juga menduduki beberapa jabatan di pemerintahan seperti menteri negara pada masa Perdana Menteri Mohammad Hatta.

Kalimantan Barat sempat menjadi salah satu daerah istimewa, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta dengan pemimpin daerah seorang sultan saat kepemimpinan Sultan Hamid II. Namun, Daerah Istimewa Kalimantan Barat kini menjadi Provinsi Kalimantan Barat yang dibentuk 1956.

Sultan Hamid II punya jasa karena merupakan tokoh yang mendesain lambang negara, Garuda Pancasila. Perjuangan Kesultanan Pontianak itu yang membuat pewaris tahta saat ini, Paduka Yang Mulia (PDM) Sultan Syarif Mahmud Melvin Alkadrie.

Dia berharap ada perhatian lebih dari Pemerintah. Hal itu disampaikannya saat bertemu dengan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Keraton Kadriah, Istana Kesultanan Pontianak, Minggu (13/6). LaNyalla menyambangi Kesultanan Pontianak dalam rangkaian kunjungannya di Kalbar.

“Keberadaan Kerajaan Nusantara merupakan bagian dari sejarah terbentuknya NKRI, sejarah mencatat perjuangan dan eksistensi Kerajaan Nusantara sebagai pemersatu dan menyebarkan nilai-nilai persatuan serta semangat kebhinekaan,” ujar Sultan Syarif Mahmud Melvin Alkadrie.

Sultan Syarif menilai saat ini Kerajaan Nusantara kurang mendapatkan perhatian yang baik dari Pemerintah. Menurut dia, berbagai warisan budaya dan peninggalan sejarah sebagai bentuk pengamalan Pancasila dan UUD NRI 1945 belum dilestarikan dan dilindungi.

Dalam pertemuannya dengan LaNyalla, Sultan Syarif menyampaikan sejumlah aspirasi. Ia meminta agar sejumlah harapan kerajaan-kerajaan di Kalimantan bisa diperjuangkan hingga ke pusat.

Beberapa aspirasi itu seperti revitalisasi istana Kerajaan Nusantara oleh Pemerintah. Mengenai hak ulayat tanah adat kerajaan, lalu aset kerajaan yang dipakai Pemerintah atau BUMN agar bisa disesuaikan.

Kesultanan Pontianak juga ingin kerajaan bersama Pemda dan Forkopimda ikut menentukan arah kebijakan kebudayaan adat tradisi budaya. Verifikasi bagi kerajaan yang punya syarat agar divalidkan. Berikutnya agar budaya-budaya yang sudah hampir punah untuk dikembalikan.

“Kerajaan Nusantara menyadari keberadaan DPD RI sebagai representasi daerah berperan penting untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan Kerajaan Nusantara yang tersebar di berbagai wilayah NKRI,” tutur Sultan Syarif Mahmud.

Pada kesempatan itu, LaNyalla mengatakan siap menyampaikan aspirasi ke Pemerintah. Keberadaan Kerajaan Nusantara tidak dapat terbantahkan sebagai salah satu pondasi bagi terbentuknya NKRI.

“Kerajaan Nusantara merupakan pewaris sejarah yang berabad-abad telah memberikan sumbangsih besar dalam menjaga marwah bangsa, kemajuan peradaban, membangun kesetaraan, silaturahim, kebersamaan, menjaga NKRI dan ideologi Negara, menjadi tempat masyarakat mengadukan berbagai persoalan yang terjadi di Daerah.”

Senator dari Dapil Provinsi Jawa Timur itu mengatakan, DPD RI berkomitmen mendorong Pemeritah Pusat dan Daerah untuk senantiasa menghormati dan melindungi Kerajaan Nusantara sebagai pondasi dari NKRI.

“Kami juga mendukung berbagai upaya pelestarian nilai-nilai tradisi beserta peninggalan Kerajaan Nusantara sebagai bagian dari upaya pembangunan kebudayaan Nasional,” tegas LaNyalla.

Dalam kesempatan itu, LaNyalla mendapat gelar kehormatan, Datuk, dari Kesultanan Pontianak. Gelar ini menjadikan LaNyalla sebagai bagian dari keluarga besar Kesultanan Pontianak.

LaNyalla juga diajak berkeliling Istana Kadriah yang dianggap sebagai cikal bakal Kota Pontianak karena dulu menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak. Di Istana Kuning itu, LaNyalla melihat banyak peninggalan dan bukti sejarah perjuangan Kesultanan Pontianak.

Lokasi istana di sekitar Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman. Ini adalah masjid tertua di Pontianak. Di sekitar istana pemukiman padat penduduk yang tersebar di dataran Sungai Kapuas. Pada bagian pintu utama istana, terdapat sebuah hiasan mahkota yang ditambah beberapa ornamen bulan dan bintang yang menandakan Kesultanan Pontianak adalah kesultanan Islam.

Istana Kadriah menjadi wisata religi yang banyak dikunjungi karena kini dijadikan sebagai museum baru di Pontianak. Di sisi istana juga terdapat peninggalan sejumlah meriam kuno yang dibuat Portugis dan Perancis.

Di dalam istana terdapat kaca pecah 1000 dan dianggap sebagai kaca ajaib karena bisa menampilkan diri kita 1000 wajah. Juga terdapat lancang kuning, alat transportasi laut tradisional.

Pendiri Kesultanan Pontianak memang dikenal sebagai pelaut tangguh dan berani. Kemampuannya dalam berdagang membuatnya kaya raya sehingga dia mampu melengkapi kapalnya dengan peralatan perang. Tak heran, ada bagian bangunan di dalam Istana Kadriah yang menyerupai buritan kapal. Ruangan itu kini dijadikan tempat menjamu tamu kerajaan untuk makan.

Kesultanan Pontianak memiliki 9 pewaris tahta hingga saat ini, meski sempat mengalami kekosongan jabatan hingga 25 tahun setelah Sultan Hamid II wafat. Sultan Syarif Mahmud Melvin dinobatkan sebagai Sultan Pontianak ke-IX setelah ayahnya, Sultan Syarif Abubakar meninggal dunia pada 2017.

Kesultanan termuda di Nusantara itu memiliki areal pemakaman di daerah Batu Layang. Di tempat ini lah para pemimpin Kesultanan Pontianak dan kerabatnya yang telah wafat dimakamkan, seperti Sultan Syarif Abdurahman dan Sultan Hamid II.

LaNyalla juga berziarah ke makam raja-raja Kesultanan Pontianak itu. Seorang kerabat kesultanan, Syarif Abdul Muthalif berharap kunjungan LaNyalla bisa membuat para tokoh bangsa tergerak untuk ikut mengunjungi situs cagar budaya tersebut.

“Kami merasa bangga dikunjungi beliau, karena jarang tokoh-tokoh besar datang ke sini. Kami berharap agar kehadiran Bapak Ketua DPD bisa membantu agar lingkungan di sekitar sini menjadi lebih sempurna lagi. Agar masyarakat juga bisa hidup secara damai,” demikian AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait