Kisah Nabi Ibrahim Dan Kontroversi Kurban Hewan

  • Whatsapp

Denny JA
Sehari setelah Idul Adha 2020, saya membaca empat berita dan esai. Empat tulisan itu mewakili empat sikap yang berbeda atas kurban hewan secara massal untuk ritual agama.


Pertama, berita dari PP Muhammadiyah. (1) Saran itu langsung datang dari Ketum Muhammadiyah yang beredar di media.
Ujar saran itu, bagi yang memiliki sumber daya terbatas, sebaiknya kurban hewan diganti dengan uang sedekah. Alasan yang digunakan adalah situasi ekonomi akibat Covid 19.


Sedekah uang itu lebih bermanfaat bagi penduduk luas, yang serba kekurangan. Publik juga terhindar dari kerumunan jika bersama menyaksikan hewan yang menjadi kurban. Kerumunan berbahaya di era Covid-19.


Ini sikap pertama: fleksibel. Untuk kondisi tertentu, hewan kurban dapat diganti uang sedekah. Tapi itu hanya untuk kondisi tertentu saja.
-000-
Kedua, berita dari MUI. (2) Ini suara resmi MUI melalui komisi fatwa. Menurut MUI, kurban hewan itu tak bisa diganti oleh uang atau barang lain. Tak ada perkecualian untuk prinsip ini.
Seandainya pun ada isu Covid-19, penyembelihan hewan dapat diatur hanya dilakukan di area tertentu. Dan dilakukan oleh lembaga atau tenaga profesional.


Ini sikap kedua: tidak fleksibel. Kurban hewan, penyembelihan hewan tak bisa ditafsir lain.
Ketiga, esai dari Shahid ‘Ali Muttaqi. Judulnya: An Islamic Perspective Against Animal Sacrifice. (3)
Esai ini menafsir ulang kisah Ibrahim. Menurut penulisnya, Muttaqi, perintah Ibrahim untuk mengurbankan anak itu bukan instruksi Tuhan. Perintah itu hanya vision yang datang dari mimpi.


Penulis itu mengedepankan Human Reason. Dalam Ten Commandement, Tuhan sudah menyatakan jangan membunuh. Mustahil Tuhan meminta Ibrahim membunuh anaknya sendiri.
Itu hanya mimpi Ibrahim. Karena Ia mengira mimpi itu perintah Tuhan, dan ia manusia yang tunduk pada Tuhan, loyalitas Ibrahim mengalahkan cinta pada anak.
Tapi kemudian, pembunuhan atas anak sendiri batal. Dan itu diganti dengan kurban hewan. Itulah awal dari tradisi turun temurun kurban hewan untuk Tuhan.


Tapi Ali Muttaqi juga mengutip ayat Quran: 22:37
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah. 
Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. 


Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Melalui surat itu, Ali Muttaqi menyatakan, yang mencapai Allah bukan daging atau darah kurban. Yang mencapai Allah adalah ketakwaan.
Muttaqi menganjurkan korban hewan di Idul adha ditafsir ulang. Di zaman modern, dengan animal rights, kurban hewan massal, tak lagi sesuai. Yang penting dalam kurban bukan hewannya, tapi sikap ketakwaan.
Ini sikap ketiga: mempromosikan untuk tak lagi kurban hewan massif dalam rangka ritual agama. Alasannya diambil dari tafsir atas surat Quran sendiri.


Berita keempat dari media The Sun. Judulnya rada rada serem: (4)
Blood in the Street. Eid Al adha animal sacrifice festival sees road turn red with blood as cow beheaded.
(Darah di Jalan.  Festival kurban hewan Idul Adha: jalan berubah merah dengan darah saat sapi dipenggal).


Berita ini dari kaca mata dunia modern non Islam. Ia menggambarkan betapa anak anak menyaksikan begitu banyak hewan meronta kesakitan dibunuh atas nama Tuhan.
Ini sikap keempat: mengeritik kurban hewan di publik yang disaksikan anak anak. Seraya mempertanyakan apakah kurban hewan secara massif itu hygenies? Sehat? Dan masih tepat untuk zaman ini?
-000-


Itulah empat sikap yang berbeda soal kurban hewan secara massif saat Idul Adha. Bagaimana pemerintah harus bersikap atas empat sikap itu?
Tiga sikap di atas harus dibiarkan sebagai hak pemeluk menafsir agama. Negara tak boleh ikut campur urusan tafsir publik.
Sikap MUI yang menyatakan kurban hewan tak bisa diganti uang, harus dihormati. Sikap Muhammadiyah yang menyatakan untuk situasi khusus kurban hewan dapat diganti uang, juga harus dihormati.
Sementara sikap seperti Ali Muttaqi, yang berdasarkan tafsir atas ayat Quran, meyakini kurban hewan perlu ditafsir ulang, ini pun hak pemeluk agama menafsir agamanya sendiri. 


Sikap Muttaqi lebih radikal ketimbang sikap Muhammadiyah. Jika Muhummadiyah menyatakan kurban hewan dapat diganti uang sedekah, hanya untuk kondisi tertentu saja. Muttaqi lebih jauh, kurban hewan dapat diganti untuk semua kondisi karena zaman berubah.
Biarkan tiga pandangan itu hidup. Bebaskan publik memilih yang mana yang mereka ingin ikuti. Tapi sikap keempat, pemotongan hewan di jalan, atau di public area, yang tak hiegenis, apalagi tak dilakukan oleh yang profesional, ini yang perlu ditertibkan pemerintah. 
Alasan penertiban bukan tafsir agama. Namun semata mata kepentingan kesehatan publik.
-000-


Mengapa pemerintah sebaiknya tak usah ikut campur dalam perbedaan tafsir agama, sejauh tak ada yang melanggar hukum kriminal?
Setelah Nabi wafat. Setelah pendiri agama tiada. Yang tersisa hanya para penafsir. Sang penafsir, sehebat apapun tingkat keulamaan, kependetaan, dan kecendikiaannya, ia bukan Nabi.
Setelah Nabi tiada, semua kita sama tak pasti apa sebenarnya kesejatian prinsip agama. Perbedaan tafsir tak terhindari.
Untuk kisah Ibrahim, bahkan terjadi pula perbedaan fakta keras. Awalnya kisah ini tertulis dalam Torah dan Perjanjian lama. Mereka meyakini, putra yang akan dikurbankan Ibrahim bernama Ishak.
Quran datang 600 tahun kemudian. Melalui proses waktu, di kalangan Islam meyakini fakta yang berbeda. Bahwa yang akan dikurbankan bernama Ismail. (5)


Kini penganut dua agama terbesar, Kristen dan Islam, meyakini fakta yang berbeda untuk peristiwa yang sama. Ishak versus Ismail.
Secara fakta, mustahil dua duanya benar. Pastilah ada keyakinan yang salah di antara dua keyakinan besar itu. Jika tak Ishak pasti Ismail. Tak mungkin dua duanya benar.
Tapi yang manapun yang salah secara fakta kita menyaksikan. Keyakinan atas fakta yang salah itu bertahan ribuan tahun. Dan dipeluk oleh lebih dari satu milyar manusia.
Toh dua agama ini dibiarkan tumbuh dengan keyakinan fakta yang berbeda. Alasannnya sederhana. Agama itu masalah keyakinan. Bukan masalah fakta.


Tak heran hingga saat ini, berkembang dan tumbuh 4300 agama. Semua tumbuh dengan keyakinannya masing masing.
Jika perbedaan fakta saja dibiarkan, maka perbedaan tafsir soal kurban hewan atau uang sedekah, sebaiknya juga dibiarkan pemerintah.
Biarkan publik memilih percaya yang mana. Pada waktunya, tafsir yang lebih sesuai dengan semangat zaman, itu yang akan bertahan panjang. Ini sejenis survival of the fittest yang terjadi di dunia tafsir agama. ***
CATATAN
1. PP Muhammadiyah menyatakan untuk era Covid 19, kurban hewan dapat diganti uang sedekah
https://m.mediaindonesia.com/read/detail/323894-ini-alasan-muhammadiyah-ganti-sedekah-hewan-kurban-pakai-uang
2. MUI menyatakan kurban hewan tak dapat diganti uang sedekah atau barang lain
https://m.mediaindonesia.com/read/detail/328421-mui-kurban-tidak-bisa-diganti-uang-atau-barang-lain
3. Esai yang menafsir ulang kisah Ibrahim, dan merekomendasikan tak lagi menggunakan hewan sebagi kurban agama.
https://www.animalsinislam.com/islam-animal-rights/sacrifice-eid-al-adha/

4. Berita yang mengkritik kurban hewan di jalan
https://www.google.co.id/amp/s/www.thesun.co.uk/news/7074173/eid-al-adha-2018-animal-sacrifice-cows-beheaded/amp/

5. Dua pemeluk agama besar berbeda soal fakta. Yang dikurbankan itu Ishak atau Ismail?
https://themaydan.com/2018/06/depicting-abrahams-sacrifice-differing-biblical-islamic-textual-traditions/
Link: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/3092025654226896/?d=n

beritalima.com

Pos terkait