Kisruh UU pilkada, salah siapa?

  • Whatsapp
Pembina LPKAN Wibisono

Oleh: Wibisono

Dinamika politik Indonesia memanas usai DPR mengebut revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat pencalonan Pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PPU-XXII/2024.
DPR langsung menggelar rapat Badan Legislasi (Baleg) pada Rabu (21/8) sejak pukul 10.00 WIB. Baleg DPR langsung membentuk Panitia Kerja RUU Pilkada.

Salah siapa?

Berikut adalah 2 poin krusial perbedaan putusan antara MK dan DPR soal RUU Pilkada:

1.Ambang batas pencalonan (threshold) kandidat Putusan MK telah mengubah ambang batas pencalonan oleh partai politik yang ada di UU Pilkada sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah.

MK menganulir ambang batas dalam UU Pilkada tersebut melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024. MK kemudian memberikan syarat baru ambang batas didasarkan pada jumlah penduduk.

Melalui putusan itu, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.

Partai yang tidak memperoleh kursi DPRD, tetap bisa mengusung paslon selama memenuhi syarat presentase yang dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Syarat parpol dan gabungan parpol bisa mengusung paslon yaitu memperoleh suara sah dari 6,5 persen hingga 10 persen, tergantung pada jumlah pemilih tetap di provinsi itu.

Sementara keputusan Baleg DPR pada Rabu (21/8) justru tetap mempertahankan ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD. Namun, partai politik yang tak punya kursi di DPRD disyaratkan seperti yang diputuskan oleh MK.

2. Batas usia minimum calon kepala daerah UU Pilkada mengatur batas usia paling rendah calon gubernur adalah 30 tahun dan calon bupati/wali kota adalah 25 tahun.

Putusan MK nomor 70/PPU-XXII/2024 menegaskan batas usia minimum calon Gubernur tetap 30 tahun dan calon wali kota/bupati tetap 25 tahun, saat ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan calon, bukan ketika dilantik.

Disisi lain, keputusan Baleg DPR menyatakan batas usia paling rendah calon Gubernur adalah 30 tahun dan batas usia calon wali kota/bupati adalah 25 tahun ketika resmi dilantik. Mereka malah mengacu pada keputusan MA dalam menyusun beleid ini, bukan mengikuti putusan MK.

Ini bukti carut marutnya sistem demokrasi kita, konstitusi kita sudah di obrak obrik oleh kepentingan penguasa, yang jelas persoalan UU pilkada tidak satu satunya keputusan yang merugikan rakyat, masih banyak keputusan politik yang lain, akankah situasi ini akan berlanjut terus?, marilah kita sebagai anak bangsa terus memperjuangkan kebenaran demi tegaknya demokrasi sesuai amanat reformasi.

Penulis: Pembina lembaga kinerja aparatur negara (LPKAN), ketua dewan Penasehat Himpunan Insan Pers Indonesia (HIPSI).

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait