SURABAYA – beritalima.com, Terdakwa Sipoa dituntut 3 tahun penjara dalam kasus penipuan uang customer Apartemen Sipoa dari pelaporan polisi No LBP/373/III/2018/IM/JATIM dan dituntut 4 tahun penjara dari perkara No LPB/1576/XII/2017/UM/JATIM.
Klemens Sukarno Candra, terdakwa Sipoa dalam dua perkara, mengajukan Nota Pembelaan yang diberi judul “Melawan Mafia Hukum Episode Kedua”,
Dalam nota pembelaanya, Klemens menyebut kalau Mafia Hukum Surabaya sudah ikut campur tangan membuat 2 surat tuntutan untuk perkara-perkara Sipoa Grup tersebut.
Pasalnya, selama persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat membuktikan dakwaannya, dan semua kerugian korban Sipoa telah dikembalikan penuh. JPU juga gagal menguraikan dan menyebutkan perbuatan mana?, dalam konteks apa,? dugaan pembelian unit apartemen tersebut terjadi.
“Akibat tuntutan yang tinggi itu, akhirnya JPU terdorong bersikap tidak jujur, manipulatif, bahkan mengingkari pendapat 2 orang ahli pidana yang telah menjadi fakta dalam persidangan perkara ini,” kata Klemens Sukarno Candra membacakan Nota Pembelaannya di ruang sidang Candra, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Senin (11/2/2019).
Dalam persidangan perkara LPB/1576/XII/2017/UM/JATIM, basis surat tuntutan 4 tahun penjara yang dirumuskan JPU adalah keterangan palsu dan serangkaian kebohongan. Padahal, selama persidangan terdapat 15 orang saksi fakta (A Charge) yang tidak dihadirkan oleh JPU. Namun anehnya, secara mengejutkan dengan gegabah JPU merumuskan keterangan palsu sebagai salah satu unsur yang dianggap sudah terpenuhi dalam surat tuntutannya.
“Ini kebohongan besar dengan mengatakan ke 15 saksi fakta tersebut hadir dipersidangan, dan memasukannya sebagai fakta persidangan,” ucap Klemens.
Padahal, JPU dan kuasa hukum terdakwa tidak pernah bertemu dengan 15 orang saksi fakta tersebut di muka persidangan, serta tidak pernah pula mendengar BAP dari 15 saksi fakta tersebut dibacakan JPU. Para terdakwa juga tidak pernah dimintakan tanggapannya oleh majelis hakim atas kesaksian 15 saksi tersebut di muka persidangan.
“Namun, ujuk-ujuk pada Surat Tuntutan halaman 23 sampai halaman 30, tanpa malu JPU memberikan keterangan palsu secara vulgar dan kasat mata dengan menulis: Terhadap Keterangan Saksi, Terdakwa Tidak Keberatan,” ujar terdakwa Klemens Sukarno Candra.
Namun anehnya, dalam Replik JPU menolak dikatakan memberikan keterangan palsu, dengan dalih tindakan tersebut hanya sekedar merupakan kesalahan pengetikan semata yang tidak disengaja. Demikian pula dengan kalimat palsu yang berbunyi terhadap keterangan saksi terdakwa tidak keberatan, yang ditulis pada setiap akhir keterangan dari 15 orang saksi a charge, yang dianggap JPU hanya merupakan tindakan salah pengetikan yang tidak disengaja akibat ter-copy paste.
“Dalih JPU itu terlalu naif, tidak rasional dan tidak logis, padahal proses persidangan ini adalah pergumulan rasionalitas dimana kebenaran, argumen logis dan rasional harus dijadikan parameter. Alibi JPU merupakan manisfestasi apa yang dimaksud satu kebohongan akan melahirkan kebohongan-kebohongan baru. Tidak mungkin peristiwa salah ketik bisa terulang sampai sebanyak 20 halaman dan dibiarkan salah dalam waktu 35 hari,” ujar terdakwa Klemens Sukarno Candra dalam pembacaan Duplik di PN Surabaya pada (31/1/2019) lalu.
Menurut terdakwa Klemens, berdasarkan fakta persidangan, ahli pidana yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum, Dr. M Sholehuddin SH.MH, maupun ahli pidana yang dihadirkan terdakwa Prof. Chairul Huda, SH. MH sama-sama berpendapat, bahwa perkara yang dihadapi para terdakwa masuk ke dalam ranah hukum perdata.
Menurut ahli Dr. M Sholehuddin SH.MH, apabila belum ada serah terima unit apartemen yang dipasarkan dan juga belum jatuh tempo penyerahan unitnya sebagaimana dalam perjanjian, maka belum adanya serah terima unit apartemen tersebut tidak bisa disebut sebagai tindak pidana penipuan.
Sedangkan pengembalian dana konsumen melalui cek adalah merupakan perbuatan hukum baru yang berbeda dengan perbuatan hukum pemesanan apartemen. Pengembalian dana kepada konsumen melalui cek adalah merupakan suatu kesepakatan baru, dimana kesepakatan itu adalah merupakan perbuatan hukum keperdataan.
“Jadi jika kesepakatan mengenai pengembalian dana pemesanan kepada konsumen tidak dilaksanakan, maka hal tersebut masuk ke dalam ranah wanprestasi,” ujar Klemens.
Menurut Klemens, cek pengembalian dana kepada para konsumen yang dikatakan cek kosong adalah merupakan elemen dari perbuatan hukum keperdataan, berupa kesepakatan. Bukan merupakan unsur dari delik penipuan.
Apabila sejak awal orang yang menyerahkan cek mengetahui dengan pasti sejak awal bahwa cek yang diserahkannya itu bakal tidak ada isinya, maka barulah tindakan memberikan cek itu masuk ke dalam salah satu unsur delik penipuan berupa perbuatan kepalsuan.
“Namun terpenuhinya unsur perbuatan kepalsuan, itu tidak membuat terpenuhinya pula delik penipuan, karena harus dipenuhi unsur delik berikutnya yaitu unsur yang membuat orang tergerak untuk menyerahkan barang, atau membuat hutang, atau menghapuskan piutang,” ucap Klemens.
Menurut ahli, dari dosen tetap Universitas Bhayangkara itu ada hubungan kausalitas, sebab akibat langsung antara unsur memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, dengan unsur lain dalam tindak pidana penipuan yakni menggerakan orang menyerahkan barang, memberi utang atau menghapus piutang.
“Menurutnya dalam hal dana konsumen yang dijanjikan dikembalikan melalui cek sudah dilakukan pengembalian dan diterima oleh konsumen, maka mengenai pengembalian dana konsumen itu adalah jelas merupakan ranah hukum keperdataan,” tukas Klemes.
Sementara ahli pidana yang dihadirkan oleh para terdakwa, Prof Chairul Huda, SH. MH, staf pengajar dari Universitas Muhamadiyah yang juga staf ahli Kapolri berpendapat tipu muslihat itu harus ada sebelum transaksi. Apabila penyerahan cek, adalah sebagai bentuk pengembalian uang, atas dasar kesepakatan mengenai pembatalan jual beli, maka tidak terpenuhinya pengembalian uang melalui penyerahan cek (cek kosong) bukanlah merupakan tipu muslihat.
“Dimana cek kosong menjadi tipu muslihat, apabila cek itu menjadi alat penggerak, yang mengakibatkan piutang korban menjadi hapus, dimana penghapusan piutang itu dibuktikan dengan pernyataan korban mengenai telah hapus piutang, kalau tidak bisa dicairkan itu Namanya gagal bayar yang masuk ke ranah keperdataan,” tambah Klemens.
Sedangkan mengenai unsur hapusnya piutang dalam delik penipuan, tambah Klemens, harus dibuktikan dengan pernyataan dari korban, bahwa piutang dari pelaku telah hapus. Sehingga apabila di dalam perjanjian pembatalan dan kesepakatan pengembalian dana ada klausula mengenai apabila tidak cair hak atas pemesanan tidak hilang,
“Maka tidak dapat dikatakan telah terpenuhi unsur mengakibatkan hapusnya piutang, karena klausula perjanjian tersebut mengakibatkan piutang tidak hapus karena tidak cairnya cek pengembalian dana, sehingga tidak cairnya cek pengembalian dana bukan merupakan delik pidana penipuan,” tambahnya lagi.
Dikatakan Klemens, yang dimaksud saksi ahli di dalam penguasaan dalam delik penggelapan adalah adanya penguasaan pada barang bergerak bukan karena kejahatan. Sementara dalam hal peristiwa hukum jual beli, uang yang dibayarkan oleh konsumen kepada penjual dalam sebuah transaksi jual beli, telah beralih hak kepemilikannya kepada si penjual sehingga uang tersebut bukan lagi menjadi milik si pembeli lagi, dimana jika atas jual beli tersebut penjual gagal menyerahkan barang, yang terjadi bukanlah delik pidana melainkan perbuatan inkar janji/wanprestasi.
“Dalam beberapa literature hukum, uang tidak dapat dikategorikan sebagai barang bergerak, sehingga unsur mengenai penggelapan yaitu penguasaan barang bergerak tidak terpenuhi,” kata Klemens.
Menurut Prof Chairul Huda, SH, MH, tipu muslihat itu harus ada sebelum transaksi. Apabila penyerahan cek, adalah sebagai bentuk pengembalian uang, atas dasar kesepakatan mengenai pembatalan jual beli. Maka tidak terpenuhinya pengembalian uang melalui penyerahan cek (cek kosong) bukanlah merupakan tipu muslihat. Dimana cek kosong menjadi tipu muslihat, apabila cek itu menjadi alat penggerak, yang mengakibatkan piutang korban menjadi hapus, dimana penghapusan piutang itu dibuktikan dengan pernyataan korban mengenai telah hapus piutang, kalau tidak bisa dicairkan itu Namanya gagal bayar yang masuk ke ranah keperdataan.
Mengenai unsur hapusnya piutang dalam delik penipuan, harus dibuktikan dengan pernyataan dari korban, bahwa piutang dari pelaku telah hapus. Sehingga apabila di dalam perjanjian pembatalan dan kesepakatan pengembalian dana ada klausula mengenai apabila tidak cair hak atas pemesanan tidak hilang, maka tidak dapat dikatakan telah terpenuhi unsur mengakibatkan hapusnya piutang, karena klausula perjanjian tersebut mengakibatkan piutang tidak hapus karena tidak cairnya cek pengembalian dana, sehingga tidak cairnya cek pengembalian dana bukan merupakan delik pidana penipuan.
Menurut terdakwa Klemens Sukarno Candra, pendapat hukum kedua ahli pidana yang demikian lengkap dan panjang, hanya dikutip JPU sepenggal saja untuk mendukung dakwaanya.
JPU hanya berbekal mengutip satu kalimat pendapat ahli pidana Dr. Solehudin, SH. MH: “Bahwa menurut pendapat saksi ahli Dr. Solehudin, SH, MH, keadaan yang palsu dapat dimaksudkan pelaku mengetahui keadaan sebelumnya tersebut tidak sebenarnya (palsu), tetapi pelaku tetap melakukan perbuatannya”. Lalu JPU melanjutkan dengan kalimatnya sendiri: “Dalam hal ilustrasi kasus yang dapat dicontohkan, bahwa bila terdakwa mengetahui cek yang diberikan tersebut dari keadaan awal tidak ada dananya tetapi tetap memberikan kepada saksi korban untuk menghapuskan piutangnya maka dengan demikian dapat dikatagorikan termasuk delik penipuan tersebut”.
Menurut terdakwa Klemes dalam kasus pemberian cek yang tidak ada dannya itu, tidak menghapuskan piutang. Karena dalam perjanjian pembatalan disebutkan piutang hanya hapus bila cek cair. (Han)