JAKARTA, beritalima.com – Direktorat Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (Limbah B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengadakan sosialisasi Pengelolaan Limbah B3 di Makasar. Bertujuan untuk bertukar pikiran tentang Pengelolaan Limbah B3, sekaligus melakukan dialog dengan lembaga lain seperti Kem ESDM, Kem PUPR, Kemendag, juga Pemerintah Daerah, serta pihak swasta.
Melalui teknologi dan uji coba ilmiah, KLHK mencoba terus memutakhirkan seluruh perijinan Pengelolaan Limbah B3. “Perizinanan adalah bagian dari pengawasan, dan pengawasan perlu dimulai dari hulu ke hilir, hal yang paling menantang dari pengelolaan limbah adalah masalah pengangkutan limbah B3. Terkait Pengelolaan Limbah B3, kami yang di pusat sangat membutuhkan peran serta pemerintah daerah, apalagi dalam PP 101 Tahun 2014 jelas bahwa Pengelolaan Limbah B3 adalah instrumen administratif preventif yang penerbitannya dapat dilakukan dalam satu izin yang terintegrasi oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota,” ujar Dirjen PSLB3, Rosan Vivien Ratnawati, Rabu (9/10/2019) di
Dijelaskan Vivien, pemda merupakan katalis dari pemerintah pusat dalam membantu produsen limbah megelola limbah mereka, sehingga diperlukan persamaan persepsi, pengetahuan ilmiah dalam pengujian izin Pengelolaan Limbah B3.
Lanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah No.101/2014 pemerintah memikirkan cara pemanfaatan limbah B3 sebagai bagian dari pola pengelolaan limbah, dan menjadi sumber daya baru, atau bahan baku yang bisa dimanfaatkan. Saat ini Indonesia sangat ketat dalam melakukan pengawasan yang sangat ketat terhadap Pengelolaan Limbah B3, dan Indonesia juga masih sangat memegang prinsip kehati-hatian dalam melakukan impor limbah.
“Namun, masih saja ditemukan kesalahan dalam Pengelolaan Limbah B3. Untuk itulah KLHK berusaha terus untuk menjadikan pengelolaan limbah ini menjadi metode perputaran ekonomi (circular ekonomi) bagi produsen dan publik,” tegasnya.
Menurut Vivien, KLHK tengah membuat peta jalan (road map) tentang Extended Producer Responsibility (EPR) untuk jangka waktu 10 tahun, dimana dalam peta jalan ini nantinya perusahaan- peursahaan manufaktur, retail dan lainnya perlu memikirkan bagaimana sampah produksi mereka bisa kembali kepada para produsen ini, untuk dimanfaatkan kembali. Sejauh ini bank sampah masih dianggap cukup efektif dalam membantu perusahaan-perusahaan manufaktur dalam mengumpulkan kemasan mereka. ddm