SURABAYA – Perempuan dengan paras yang cantik adalah hal yang biasa, namun perempuan yang sadar akan peran perempuan adalah hal yang luar biasa.
Perempuan-perempuan Islam yang menjadi tonggak panji Islam bukan saja memeperkokoh keImanan namun juga keIlmuan.
Di kohati merupakan labolatorium mahasiswa perempuan yang mengikuti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
KOHATI juga merupakan lembaga khusus HMI yang diberikan amanah untuk mengajarkan kader muslimah berkualitas insan cita untuk tetap menyebarkan ajaran-ajaran Islam.
Di dalam kohati juga mengajarkan perempuan yang tidak hanya aktif dalam lingkungan domestik namun juga publik dengan moral yang baik, bagaimana perempuan bertindak dan bersikap dalam perspektif Islam seperti Sidiq, Amanah, Fathonah dan Tabliq.
Pada tahun yang menambah KOHATI semakin bertambah maka rintangan dan tantangan pun juga bertambah, semakin dewasa kohati bukan saja dituntut untuk berfikir tentang peran perempuan namun lebih daripada itu.
KOHATI dituntut untuk lebih peka terhadap kebijakan-kebijakan terkhusus yang menyangkut hak-hak perempuan.
Maka dari itu KOHATI harus menjadi promotor bukan pengekor karena eksistensinya bukan hanya dalam kesadaran organisasi namun juga beraktualisasi diri pada pembangunan.
Di tambah dengan masih banyak kader-kader KOHATI belum paham akan perannya, memilih apatis dan pragmatis daripada peka terhadap masalah-masalah dalam publik.
Pada MILAD KOHATI ke-52 di usianya yang semakin matang ini harapan HMI-WATI mampu mengintropeksi diri lalu mengkualitaskan diri dengan mengkokohkan keImanan dan juga Keilmuan.
Sehingga dapat meningkatkan literasi merupakan salah satu hal untuk mempekokoh keilmuan, lalu mengamalkan ilmu tersebut terhadap sesama.
Karena KOHATI merupakan labolatorium perempuan menempa diri dengan penuh kesadaran, menghijrahkan diri dan mengenal fitrahnya perempuan sebagaimana telah diserukan dalam lagu mars Kohati yakni “Wahai HMI-WATI semua sadarlah kewajiban mulia, membina,pendidik tunas muda tiang negara jaya”.
Karena suatu gagasan tanpa sebuah gerakan akan mati, sama halnya dengan KOHATI kalau tidak ada pergerakan yang masif dalam hal kontribusi.
Kita sadar bahwa organisasi hanya sebuah nama tanpa nyawa, yang paling penting lagi bahwa setiap kader HMI tidak lupa akan jati dirinya sebagai seorang perempuan yang sadar akan fitrahnya.
Oleh : Uci Shintia Budi (Pengurus Kohati HMI Komisariat Sosial Budaya UNESA)