Jatinangor, beritalima.com| – Sebuah seminar internasional bertema “Bandung di Usia 70: Membangun Dunia Kembali,” menggema di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor (Jawa Barat), bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2025.
Di kampus ini, berkumpul para cendekiawan dan pakar terkemuka dari Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika, mengobarkan Semangat Bandung (dari Konferensi Asia Afrika pada 18-24 April 1955) sebagai landasan untuk menata kembali kerja sama global di tengah krisis geopolitik saat ini.
Sederat nama hadir dalam seminar dipimpin oleh Prof. Darwis Khudori (Université Le Havre Normandie, Prancis) dan diketuai bersama oleh Prof. Nurliah Nurdin (IPDN, Indonesia) serta Dr. Baskara Wardaya (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesuit/PRAKSIS, Indonesia), antara lain para pemikir berpengaruh seperti Manoranjan Mohanty (India), Connie Rahakundini Bakrie (Indonesia/Rusia), Qing Shi (Tiongkok), Fulufhelo Netswera (Afrika Selatan), Beatriz Bissio (Brasil/Uruguay), Olga Volosyuk (Rusia), dan Bruno Drweski (Polandia/Prancis).
Prof. Connie Rahakundini Bakrie menekankan, warisan Bandung tetap vital dalam membentuk kembali tatanan dunia: “Visi Soekarno tentang Gerakan Non-Blok tetap kuat, sebuah semangat perubahan peradaban yang mendorong kita untuk membangun kesadaran kolektif di mana BRICS menjadi kekuatan dan ASEAN menjadi pemikiran.”
Prof. Mohanty dari India mendesak hubungan internasional yang berpusat pada rakyat, dengan menyatakan bahwa dunia harus “memperkuat PBB sebagai lembaga global yang demokratis dan mendukung BRICS serta inisiatif Selatan-Selatan.”
Dari perspektif Eurasia, Prof. Olga Volosyuk menarik garis sejarah langsung dari Konferensi Bandung ke aliansi BRICS, dengan mencatat moto kelompok tersebut, “Membangun Dunia yang Lebih Baik Bersama”, menggemakan impian Sukarno tentang keadilan dan kesetaraan antarbangsa.
Cendekiawan Amerika Latin Beatriz Bissio menggarisbawahi relevansi pesan anti-imperialis Bandung yang berkelanjutan, menyayangkan dampak Doktrin Monroe yang masih berlanjut di wilayahnya sambil mengadvokasi “bentuk internasionalisme baru yang berbasis pada rakyat, bukan negara.”
Mewakili Afrika, Prof. Fulufhelo Netswera menyerukan urgensi mengubah kata-kata menjadi tindakan: “Kita, masyarakat di belahan bumi selatan, harus memastikan hari esok adalah dunia yang lebih baik daripada yang kita warisi dari para pendahulu kita di Bandung 1955,” ucapnya.
Sementara cendekiawan Tiongkok Qing Shi menyerukan “front persatuan untuk kerja sama Selatan-Selatan” dan mendesak dunia untuk “keluar dari kerangka pengetahuan kolonial dan membangun kembali.”
Dan, Prof. Khudori menegaskan kembali Semangat Bandung bukan sekadar kenangan sejarah, melainkan filosofi hidup untuk keadilan global. Acara ditutup dengan peluncuran buku simbolis, “Membangun Kembali Dunia dalam Perspektif Global,” memperkuat komitmen IPDN untuk memupuk kolaborasi intelektual dan inovasi kebijakan di seluruh belahan bumi selatan (global south).
Peringatan 70 tahun KAA ini terus berlanjut melakukan safari penyebarluasan nilai-nilai penting Semangat Bandung ke beberapa kota, seperti Surabaya, Blitar dan Yogyakarta. Bahkan saat di Blitar, Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri turut hadir untuk memberikan pesan penting tentang Semangat Bandung yang diprakarai sang ayah Presiden RI 1, Soekarno.
Jurnalis: abriyanto








