SURABAYA, Beritalima.com |
Museum Etnografi Universitas Airlangga didirikan pada 25 September 2005 bersamaan dengan Dies Natalis Departemen Antropologi FISIP. Museum Etnografi sempat direnovasi pada tahun 2015 dan mendapatkan renovasi melalui pendanaan dari Direktorat PCBM Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Bahkan selama tiga tahun berturut-turut Museum Etnografi UNAIR mendapat bantuan pendanaan dari kementerian sehingga museum ini baru dibuka kembali pada tahun 2016.
Dr. Phil Toetik Koesbardiati, selaku pendiri Museum Etnografi FISIP UNAIR memaparkan bahwa melalui renovasi pada Museum Etnografi UNAIR juga memiliki makna terhadap revitalisasi museum, penataan tema museum, dan semua persyaratan sebuah museum sebagai arena pendidikan, rekreasi, dan penelitian.
“Tema yang dikembangkan oleh Museum Etnografi ialah tema kematian, sebuah tema yang jarang dibicarakan dalam dunia pendidikan. Terkait dengan kematian ini memiliki dasar keilmuan juga inline dengan kurikulum di Departemen Antropologi, FISIP,” ujarnya.
Lebih lanjut, Toetik menegaskan dengan kehadiran Museum Etnografi UNAIR telah mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) UNAIR dalam sektor sustainable cities and communities, indicator public access to museums.
“Beberapa program yang kami selenggarakan direspons oleh sekolah, misalnya dalam bentuk short course pengetahuan tentang forensic anthropology. Beberapa penelitian kerjasama internasional juga kami laksanakan sebagai bukti bahwa pihak ilmuwan luar negeri juga memberi perhatian kepada koleksi museum. Beberapa artikel jurnal bereputasi internasional telah kami hasilkan juga terkait dengan penelitian dengan pihak luar negeri,” tandasnya.
Selain itu, Toetik menuturkan melalui museum kita dapat memetik kebutuhan akan sumber ilmu alternatif. Oleh karena itu, dengan kehadiran Museum Etnografi FISIP UNAIR yang berada dalam lingkup universitas, maka Museum Etnografi termasuk kedalam kategori museum universitas yang tetap mengemban misi tridharma perguruan tinggi.
“Selain fungsi rekreasi sebagai fungsi museum, maka fungsi pendidikan dan penelitian sangat berkolerasi dengan tridharma perguruan tinggi,” tambahnya.
Toetik mengatakan bahwa koleksi-koleksi yang terdapat pada Museum Etnografi UNAIR sangat beranekaragam. Tentu, koleksi-koleksi yang ada dimuseum ini tak lepas dari tema kematian yang diusung olehnya. Beberapa koleksi yang terpajang didalam arena museum ini diantaranya ialah koleksi tinggalan prasejarah, baik fauna ataupun human, recent human remains, replica fosil homo erectus, stone tools, gerabah, kain adat, falistik nusantara, replika makam nusantara, koleksi masa klasik Indonesia.
Kontribusi Museum Etnografi
Toetik mengungkapkan tak jarang sesama museum berkunjung dan berkoordinasi dengan Museum Etnografi terutama terkait dengan storyline. Bahkan tawaran penelitian dari dinas pemerintah juga ditujukan pada perkembangan dan perhatian pada Museum Etnografi terutama jika berkaitan dengan identifikasi sisa rangka manusia, sesuai dengan keahlian yang dikembangkan oleh Museum Etnografi.
“Saat ini kami sedang berbenah atas dukungan FISIP terkait dengan perangkat promosi supaya museum dapat dikunjungi secara virtual oleh masyarakat luas,” paparnya.
Toetik mengutarakan dukungan dari tingkat universitas juga diperlukan dari aspek penyediaan sarana pendukung, seperti website, video, sarana IT, dan lain-lain. Bahkan selama pandemi, Museum Etnografi tidak berhenti untuk melakukan promosi. Upaya yang dilakukan oleh Museum Etnografi diantaranya adalah mengadakan webinar tentang topik-topik kematian dengan mengundang pembicara dari dalam dan luar negeri.
“Sebutan sebagai museum dengan kategori unik dan serta jenis tampilan infografis yang kami sajikan di museum masih memikat dan mengusik rasa ingin tahu masyarakat. Soal inovasi konten tema kematian, serahkan pada kami,” pungkasnya.