Komisi B DPRD Jember Cari Solusi, Selesaikan Konflik Sosial Pesisir Pantai Selatan

  • Whatsapp
Study Banding Komisi B DPRD Jember ke Kabupaten Karangasem Bali (beritalima.com/istimewa)
Study Banding Komisi B DPRD Jember ke Kabupaten Karangasem Bali (beritalima.com/istimewa)

KARANGASEM, beritalima.com | Komisi B DPRD Jember mencarikan solusi, guna penyelesaian konflik sosial yang terjadi di pesisir pantai selatan Jember.

Salah satunya kini, dengan melakukan study banding ke Kabupaten Karangasem, Bali, bersama Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Cipta Karya, Bappeda, BPKAD, Bagian Hukum dan Bagian Tata Pemerintahan Kabupaten Jember.

Bacaan Lainnya

Wakil Ketua Komisi B DPRD Jember, Ikbal Wildan Wilda Fardana mengaku, studi banding ke Bali itu dilakukan karena Karangasem memiliki Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 30 Tahun 2016 Tentang Sempadan Pantai.

“Kami belajar (aturan pemanfaatan sempadan pantai). Itu karena Jember belum punya aturan yang demikian,” kata Ikbal.

Politisi PPP menjelaskan, pihaknya menginventarisir sejumlah kajian untuk bahan yang diperlukan dalam menyusun Praturan Daerah (Perda) tentang garis sempadan pantai.

Bahan itu berguna, apabila Perbup menjadi opsi yang dipilih, untuk mengatur garis sempadan pantai. Komisi B bisa mengajukannya sebagai rekomendasi ke Bupati Jember H. Hendy Siswanto.

“Jadi selain kajian, kita melengkapinya dengan hasil studi banding ke DPRD Kabupaten Karangasem,” kata Ikbal.

Sementara, Sekretaris Komisi B DPRD Jember David Handoko Seto menyampaikan, Kekosongan regulasi daerah menjadi salah satu akar masalah, yang menyulut munculnya konflik sosial berkepanjangan di kawasan pesisir selatan Kabupaten Jember.

“Jember belum punya beleid tingkat daerah yang mengatur batas-batas garis sempadan pantai,” kata David.

Menurutnya, akar masalah itu harus segera diatasi, supaya konflik sosial di wilayah pesisir dapat terkendali. Langkah awalnya dengan membuat regulasi yang berisi ketentuan titik koordinat sempadan.

Bentuk regulasi dapat berupa Perbup atau Perda. Pilihan diantara kedua opsi itu, tergantung pertimbangan yang paling memungkinkan dilakukan dalam tempo secepat mungkin.

“Apakah Perbup atau Perda yang cepat. Kita perlu pegangan aturan, untuk menyelamatkan pesisir selatan dan kehidupan masyarakat sekitarnya,” tutur David.

Sedangkan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Jember, Indra Tri Purnomo berpendapat, lebih baik garis sempadan pantai diatur dengan Perda dari pada Perbup.

Namun, Indra menyatakan dirinya akan mengikuti pilihan kebijakan yang akan diambil oleh Bupati dengan DPRD.

“Lebih enak Perda sebagai produk hukum yang kuat. Tanggung kalau Perbup, karena tingkatan beban untuk mengkaji dan prosesnya beda sedikit,” ujarnya.

Pemerintah mengatur sempadan pantai melalui beberapa produk hukum. Seperti UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, berikut juga Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.

Secara tegas, sempadan pantai disebut sebagai daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional, dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, serta berjarak minimal 100 meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat.

Namun Fakta yang terjadi, kawasan sempadan pantai diduga kuat telah menjadi lokasi konflik sosial dalam konteks perebutan sumber daya.

Sejumlah pengusaha membangun usaha tambak skala besar yang mencakup luasan lahan hingga ratusan hektar. Ada yang legal maupun ilegal.

Bahkan, salah satu pengusaha difasilitasi secara eksklusif melalui penyewaan lahan oleh Pemerintah Kabupaten Jember. Bupati Hendy menyewakan lahan untuk tambak kepada Direktur PT Bangun Ombak Sejahtera, Nathanael Enrico Djojokusumo.

Lahan yang disewakan seluas 37.850 meter persegi di Desa Mojomulyo, Kecamatan Puger. Durasi sewa selama 5 tahun sejak 2022. Biaya kontribusi tetap senilai Rp70.880.000 per tahun.

Warga juga tidak mau kalah dengan pengusaha, sehingga sebagian dari mereka mendirikan tambak pula. Meski, skalanya lebih kecil.

Mashun, Pembina Perkumpulan Petambak Rakyat (PPR) mengungkapkan, kurang lebih ada 20 warga yang turut membuat tambak rakyat. Petambak kecil, ingin perlakukan setara dengan pengusaha besar dalam pemanfaatan wilayah pesisir.

Rencana penetapan batas sempadan pantai dalam bentuk aturan atau produk hukum sangat diharapkan untuk hadir memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.

“Teman-teman PPR yang seperti itu kami harapkan, dan sangat setuju kami dukung. Dengan begitu ada upaya pembinaan dan aspek legalitas kami pasti akan terbantu,” tuturnya.

Petambak rakyat, kata Mashun, berkomitmen untuk mentaati ketentuan hukum. Disamping itu berjanji turut menjaga kelestarian lingkungan dengan cara pengolahan limbah sebaik-baiknya. (Sug)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait