Jakarta beritalima.com|- Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian kawal ketat Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang tengah dibahas bersama pemerintah dan pemangku kepentingan.
Dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema “Memaksimalkan Poin Penting Undang-Undang (UU) Tentang Sistem Pendidikan Nasional Untuk Pendidikan Yang Merata”, di Senayan, Jakarta (22/7), Hetifah memberi catatan sepuluh poin penting.
Ia mengaku diskusi berlangsung intensif, seiring antusiasme anggota terhadap draf naskah akademik yang baru disampaikan ke komisi pendidikan DPR RI. Menurut Hetifah, RUU ini merupakan hasil dari serangkaian dialog panjang dengan publik, termasuk kunjungan ke berbagai daerah.
“Dan tentunya juga, masukan tertulis dari stakeholders, serta konsultasi bersama kementerian terkait. Kami telah menyusun draft awal yang mencoba menjawab problem mendasar pendidikan kita,” ujar politisi Partai Golkar.
Sepuluh poin dari Hetifah, pertama, ketimpangan dan fragmentasi tata kelola pendidikan nasional. Kedua, belum optimalnya realisasi alokasi anggaran 20 persen dari APBN dan APBD untuk sektor pendidikan. Ketiga, ketimpangan pengakuan dan pendanaan bagi pendidikan keagamaan serta pendidikan non-formal, termasuk PAUD non-formal.
Keempat, ketidaksesuaian kurikulum antar jenjang pendidikan dan lemahnya sistem penjaminan mutu. Kelima, perlunya evaluasi terhadap standar pendidik dan reformasi sistem akreditasi pendidikan. Keenam, ketidakjelasan status pendidik non-formal seperti tutor PAUD dan lembaga kursus.
Lalu tujuh, rencana perluasan masa wajib belajar dari 12 ke 13 tahun (termasuk prasekolah). Delapan, penguatan layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sembilan, inklusivitas dan perlindungan bagi kelompok rentan, termasuk anak berkebutuhan khusus dan komunitas marginal. Sepuluh, lemahnya sistem evaluasi dan pengawasan pendidikan secara menyeluruh.
Disamping itu, lanjut Hetifah, Komisi X DPR RI juga menyoroti pentingnya pengaturan khusus bagi wilayah tertinggal, daerah pasca-konflik, serta anak-anak dari keluarga buruh migran di wilayah perbatasan.
“Kami ingin memastikan bahwa negara hadir dan menjamin hak pendidikan bagi setiap anak, termasuk mereka yang berada di posisi paling rentan,” tegasnya.
Jurnalis: rendy/abri

