JAKARTA, Beritalima.com– Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur mengungkapkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang menjadi inisiatif Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hyper regulasi.
Hal tersebut diungkapkan Muhammad Isnur dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) virtual dengan Komite I DPD RI yang dipimpin Wakil Ketua Dr Abdul Kholik. Dalam RDP itu, Abdul Kholik didampingi Ketua Komite I DPD RI, Dr Agustin Teras Narang (Kalteng), Wakil Ketua Jafar Alkatiri (Sulut) serta Fachrul Razi (Aceh). RDP yang digelar, Rabu (29/4) membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Pada kesempatan itu, Muhammad Isnur memandang RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini hyper regulasi dengan alasan adanya tumpang tindih aturan, menghambat akses pelayanan publik dan menimbulkan ketidakpastian hukum, termasuk di Prapendaftaran untuk berusaha dan untuk memulai usaha itu diatur lebih lanjut melalui UU, 2 Peraturan Pemerintah (PP), 4 Peraturan Presiden (Perpres) dan 20 Peraturan Menteri (Permen).
“DPD RI harus bersikap terhadap RUU Omnibus Law karena RUU ini menciderai prinsip negara hukum dan negara demokrasi. Disusun secara cepat dan memasuki hampir semua sektor yang tidak melalui tahapan dalam pembentukan UU, yaitu tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.
Selain itu, RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini juga bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur pasal 1 angka 1 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan. “Omnibus Law ini juga mempersempit keterbukaan dan ruang partisipasi publik yaitu (minim pelibatan masyarakat dan meminimalkan peran dan keterlibatan serta fungsi legislastif parlemen dalam penyusunan RUU,” kata Isnur.
Ditambahkan, RUU Omnibus Law mempunyai pasal yang melemahkan peran Pemerintah Daerah, yaitu pasal 6 ayat 5, pasal 8 ayat 7, pasal 34A ayat (1) RUU Cipta Kerja yang bertentangan dengan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Selain itu, pasal 15 ayat (1) RUU Cipta Kerja menarik kewenangan izin pariwisata ke Pusat. Pasal 7 dan Pasal 16 serta sejumlah pasal RUU Cipta Kerja yang menarik kewenangan Daerah ke Pusat terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diatur dalam UU No: 27/2017.
“Ada upaya sentralisasi berlebihan dan pelemahan Pemda di sektor tata ruang, pariwisata, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil, pengelolaan limbah B3, pangan dan pendidikan”, tegas Isnur.
Menanggapi pemaparan dari YLBH, Abdul Kholik menjelaskan, dengan mempertimbangkan sejumlah persoalan dan pasal yang masih bermasalah di dalam RUU Cipta Kerja dan mempertimbangkan kondisi serta situasi Indonesia yang sedang menghadapi Pandemi Covid–19, Komite I DPD RI perlu menyatakan kepada Pemerintah, DPR RI serta Pimpinan DPD RI untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja.
“RUU Omnibus Law telah menjungkirbalikan seluruh proses pembentukan UU yang selama ini sudah partisipatif di era reformasi. Dari aspek substansi RUU ini sangat beresiko apabila RUU ini tak dibahas dengan baik terutama proses pembentukannya. UU selalu mempunyai tiga basis, yaitu filosofis, sosiologis dan yuridis. Di RUU ini banyak masalah pada ketiga basis itu,” ungkap Kholik.
Senada dengan Abdul Kholik, Teras Narang sependapat dengan masukan dari pemaparan Ketua YLBHI. Menurut dia, Komite I DPD RI sudah sejak 16 April lalu mengeluarkan pandangan dan pernyataan sikapnya atas RUU Omnibus Law yang sudah dimuat dibeberapa media nasional termasuk dikirimkan secara resmi melalui surat kepada Pimpinan DPD RI bahwa ada sikap yang tegas secara kelembagaan dari DPD RI.
“Salah satu pandangan Komite I DPD RI ketika itu adalah mencermati RUU Cipta Kerja banyak memuat frasa yang melakukan perubahan dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. RUU ini akan menimbulkan sentralisasi pemerintahan/perijinan yang berpotensi merugikan daerah serta berdampak pada hilangnya semangat otonomi daerah sebagai tuntutan reformasi 1998 yang berakibat terjadinya amandemen UUD NRI 1945,” ungkap Gubernur Kalteng dua periode ini.
Pada sesi tanya jawab, anggota Komite I dapil Papua Barat, Dr Filep Wamafma mengatakan, RUU Omnibus Law telah mengembalikan sistem politik pemerintahan kita kembali ke era Orde Baru yaitu sentralistik.
“Ini bertentangan dengan konstitusi. Pimpinan DPD RI kurang agresif mensikapi RUU Omnibus Law. Harus ada sikap tegas dari DPD RI,” tegas Filep.
Abrahan Liyanto dari dapil NTT meminta pembahasan RUU Omnibus Law ditunda tanpa batas waktu. “Sementara tunda saja dulu, sambil DPD RI juga menyusun DIM RUU Omnibus Law ini,” kata dia.
Senator dapil Provinsi Banten, Habib Ali Alwi mengatakan, sebaiknya RUU ini ditarik dari DPR karena momentumnya kurang pas dan saat ini masih dalam suasana pandemi Covid–19. “Kami di DPD RI jadi bertanya–tanya ada apa ini, kok dipaksakan membahas RUU Omnibus Law di DPR. Sebaiknya ditunda saja dan jangan dipaksakan karena terlalu besar polemiknya.”
Senator dapil Sumatera Barat, Leonardy Harmainy mendesak agar pimpinan Komite I DPD RI segera mensurati kembali pimpinan DPD RI. “Komite I surati kembali pimpinan DPD RI soal pembahasan RUU Omnibus Law agar ditarik dari DPR dengan melihat fenomena yang terjadi di pemerintahan daerah dan dunia usaha. Karena banyak upaya untuk meresentralisasi.”
Lili Amelia, anggota Komite I DPD RI dapil Sulawesi Selatan mengatakan, RUU ini berpihak pada pengusaha besar. “Sepertinya kita akan dibawa kembali oleh Pemerintah Jokowi ini ke sentralisasi masa Orde Baru. RUU ini dipaksakan hanya untuk satu golongan saja yaitu pengusaha besar dan tanpa adanya partisipasi masyarakat,” ungkap Lili. (akhir)