JAKARTA, Beritalima.com– Secara umum, usulan perubahan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penanggulangan Bencana telah menambahkan beberapa ketentuan yang substansi sehingga RUU tersebut menjadi lebih komprehensif jika dibandingkan dengan UU existing.
“Itu terlihat dari penambahan ketentuan dan penjelasan terkait bencana alam, non alam, sosial dan pembagian peran pusat serta daerah yang menjadi lebih jelas dalam upaya menanggulangi jenis-jenis bencana,” ungkap Wakil Ketua Komite II DPD RI, Hasan Basri ketika Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pembahasan Substansi Materi RUU tentang Penanggulangan Bencana di Jakarta, Senin (21/9).
Menurut senator dari Dapil Provinsi Kalimantan Utara itu, penyusunan RUU ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus terintegrasi dengan UU lain seperti UU Konstruksi. Karena itu, penting ada pemetaan daerah bencana dan rawan bencana yang tidak dapat dihuni atau ketentuan membangun di kawasan rawan bencana.
“RUU tentang Penanggulangan Bencana perlu memuat ketentuan sanksi terhadap pejabat yang mengeluarkan izin pembangunan di daerah rawan bencana jika terjadi kecerobohan yang menyebabkan bencana,” ungkap senator tersebut.
Dia berharap RUU dapat mengatur alokasi anggaran penanggulangan bencana sebagai dana siap pakai pada tingkat pusat dan daerah dengan persentase minimal dua persen dari APBN dan APBD.
Namun, diperlukan penjelasan lebih lanjut terkait aturan persentase minimum itu. “Apakah persentase tersebut dinilai terlalu minim atau sudah cukup untuk diaplikasikan di seluruh daerah,” jelas dia.
Dia menilai usulan Pasal 67 ayat 1 huruf b RUU tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan alokasi anggaran penanggulangan bencana dapat berbentuk dana abadi. Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait teknis pengelolaan dana abadi penanggulangan bencana tersebut.
“Karena itu perlu dikaji apakah dana abadi penanggulangan bencana. Jika dibutuhkan, dana abadi itu akan dikelola oleh siapa atau lembaga apa, serta dana abadi akan bersumber dari mana,” tutur Hasan.
Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Penguatan UU Penanggulangan Bencana (AMPU-PB) Catur Sudiro menjelaskan, penanggulangan bencana telah menjadi kesadaran masyarakat luas dan diakui keunggulannya pada tataran regional maupun global.
Namun, meletakkan sampah ditempatnya belum menjadi budaya masyarakat kita. “Penanggulangan bencana belum menjadi gaya hidup masyarakat kita. Jadi masih banyak masyarakat yang buang sampah sembarang,” papar dia.
Dikatakan, kesenjangan tanggap darurat belum efektif dan kosisten lantaran peran masyarakat serta ormas dalam penanggulangan bencana belum diatur secara eksplisit dalam RUU ini.
“Kami mau peran masyarakat dan ormas bisa lebih banyak dalam UU. Faktanya kedaulatan bencana menunjukan masyarakat sangat respon sebelum bantuan pemerintah datang,” terang dia.
Pada kesempatan yang sama, Anggota DPD RI Provinsi Nusa Tenggara Timur, Angelius Wake Kako sependapat dengan paradigma UU ini perlu dipikir dan dicermati kembali.
Sejauh ini UU ini hanya penanggulangan saja, sedangkan pasca penanggulangan belum dimasukkan. “Indonesia memang daerah ring of fire tetapi UU ini bicara soal penanggulangan, sehingga paradigmanya hanya penanggulangan saja tidak setelahnya.”
Anggota DPD RI Provinsi Kalimantan Barat, Cristiandy Sanjaya menjelaskan bencana yang sering terjadi di Kalbar adalah kebakaran hutan, ada juga kebakaran di daerah permukiman, banjir dan terjadi hampir setiap tahun. Tetapi ketika terjadi kebakaran di permukiman masyarakat, Pemda tidak turun dan dalam pemadaman karena tupoksinya berbeda.
“Secara khusus di Kalbar seperti kebakaran di permungkiman bukan Pemda turun tangan tapi masyarakat. Pemda katanya tupoksinya berbeda, karena fokus terhadap kebakaran hutan. Justru masyarakat yang aktif. Pemda hanya memberikan bansos. Kedepan kami ingin ada aturan yang jelas,” kata Cristiandy.
Direktur Eksekutif Amcolabora Institute, Nukila Evanty menjelaskan, tantangan penanggulangan bencana yaitu kerjasama Pemerintah Pusat dengan Daerah tidak terkoordinasi secara baik.
Hal itu mengakibatkan keterkaitan kebijakan hulu-hilir dalam penataan ruang berbasis risiko bencana. “Untuk itu perlu juga keterkaitan dan daya dukung antara kota dan desa,” terang dia.
Selain itu, Untung Tri Winarso dari Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (Planas PRB) menjelaskan beberapa kreteria koordinasi Pusat dengan Daerah. Tanggung jawab Daerah yaitu menyusun rencana-rencana pembangunan pemerintah pusat dan menyusun rencana manajemen penanggulangan bencana.
“Sementara itu tanggung jawab pemerintah pusat menyusun rencana pembangunan pemerintah daerah sesuai dengan identifikasi, penilaian, dan evaluasi,” ucap dia.
Anggota DPD RI Provinsi Jawa Tengah, Denty Eka Widi Pratiwi mengatakan, bencana biasanya terjadi di daerah perlu kesigapan dari Pemerintah Pusat maupun Daerah sehingga diperlukan anggaran khusus untuk penanggulangan bencana.
Hal itu merupakan prioritas, karena jika tidak akan menganggu pembangunan di daerah. “Jadi, seharunya kewenangan full daerah, Pusat hanya koordinasi saja. Karena kita butuh kesigapan cepat, jadi Pemda yang bisa melakukan hal itu karena dekat dengan wilayah,” demikian Denty Eka Widi Pratiwi. (akhir)