beritalima.com | Dalam laporan kantor berita BBC edisi Mei 2020 melaporkan bahwa di Timur Tengah, konflik yang selama ini terjadi dapat memperparah penyebaran pandemi covid 19 diwilayah tersebut. Di Yaman, Suriah, dan Libia misalnya, akibat perang dan konflik yang berkepanjangan, sistem layanan kesehatan yang paling dibutuhkan justru tidak dapat diakses.
Indonesia memang tidak seperti negara negara Timur Tengah yang dihadapkan pada konflik dan perang berkepanjangan. Hanya saja, konflik kepentingan antar elit, simpang siur informasi yang disampaikan, serta politik citra dalam menangani pandemi, menjadi tontonan hampir tiap hari di media masa.
Semua negara memang sedang mengalami ketidakpastian dalam penanganan pandemi covid 19 ini. Belum ditemukannya vaksin, kapan virus ini hilang, serta bagaimana pemulihan ekonomi pasca pandemi berakhir, menjadi pekerjaan rumah yang harus dipikirkan oleh semua pemimpin negara, tak terkecuali di Indonesia.
Disituasi serba tidak pasti inilah, harusnya para pemimpin mempertontonkan sikap yang lebih dewasa, bijaksana dan tenang. Sehingga masyarakat dibawah pun percaya (trust) bahwa dapat melewati masa pandemi ini dengan situasi tenang, aman dan tanpa kekhawatiran apapun. Hanya saja, pada level elite justru menunjukkan gejala sebaliknya. Tak sedikit perilaku pejabat memanfaatkan pandemi Covid 19 untuk mengail kepentingan politik pencitraan semata, dengan menabur konflik kewenangan antar sesama pemerintahan daerah.
Masih segar diingatan konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi DKI Jakarta terkait dengan bantuan sosial penangangan pandemi covid 19, dilanjutkan dengan konflik antara Bupati Lumajang dengan Bupati Bolang Mongondow Timur juga terkait dengan bantuan sosial, terbaru konflik antara Gubernur Jawa Timur dan Walikota Surabaya terkait dengan bantuan mobil laboratiruim PCR dari BNPB.
Kasus konflik terakhir, meski hanya disebut sebut sebagai kesalahpahaman komunikasi antar pimpinan daerah, namun banyak yang menilai hal ini sudah masuk dalam konflik kepentingan politik yang lebih dalam, banyak yang menganggap ini sebagai adu legitimasi politik untuk menyusun kekuatan di pilkada Surabaya Desember mendatang. Bahkan ada yang menganggap ini sebagai kontestasi pertempuran nasional dengan pemain lokal. Ini adalah partai balas dendam, pertempuran lanjutan dari pilgub 2018 antara PDIP yang menjagokan Gus Ipul-Puti Guntur melawan koalisi Jokowi yang menjagokan Khofifah-Emil Dardak.
Konflik politik yang awalnya hanya dianggap sebagai perceived divergence of interest, atau persepsi mengenai perbedaan kepentingan, dimana aspirasi walikota Surabaya dalam menangani pandemi covid 19 di Surabaya yang semakin parah tidak bisa didapatkan secara simultan. Kini seolah olah sudah mengarah pada apa yang disebut oleh John Maersheimer sebagai perebutan hegemoni kekuasaan, atau the hegemonic power, yang untuk menjalankan peran hegemonik tersebut, suatu wilayah harus mendominasi sistem.
Dalam konsep desentralisasi, kekuatan hegemoni sistem yang secara legal dilindungi oleh undang undang sebanrnya berada ditangan Gubernur, karena Gubernur dapat melakukan peran pembinaan dan pengawasan terhadap bupati atau wakilota, sebaliknya bupati atau walikota harus senantiasa berkoordinasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di atasnya. Oleh karena itu, untuk memutus persepsi hegemoni itu, Walikota Surabaya sengaja merespon kekesalannya terhadap tindakan Gubernur melalui sikap marah marah dan menuduh ada pihak pihak yang sengaja mensabotase dirinya dalam menangangi wabah pendemi ini.
Beberapa ahli politik sudah mengingatkan, bahwa isu jorjoran popularitas antar-tokoh politik pasti tak terelakkan. Namun, disituasi ketidakpastian pandemi di Jawa Timur dan terus meningkatkan jumlah pasien positif virus corona di Surabaya, tentu tidaklah etis bila perbincangan diarahkan ke politik kontestasi elektoral pemilihan kepala daerah.
Politik citra, sejatinya memang penting dalam politik. Ia bermakna positif, manakala hal hal yang dikemas dan ditampilkan ke publik mencerminkan realitas sesungguhnya. Namun jika yang terjadi sebaliknya, yakni merekayasa keadaan dengan menyembunyikan fakta yang sesungguhnya, hal ini sama saja dengan melakukan penipuan terhadap keterbukaan informasi publik. Padahal saat ini yang lebih penting ialah agar semua pemimpin di pusat dan daerah hadir ditengah tengah masyarakat dan menunjukkan kepemimpinannya yang efektif.
Sekali lagi, dalam politik yang demokratis, ada etika yang harus dijaga bersama. Dalam situasi pandemi, harusnya tak boleh ada yang bermain di air keruh kata Alvan Alvian. Semua spektrum kepolitikan harus berorientasi politik kemanusiaan. Maka, dinamika kontestasi tak boleh berlarut dalam konflik kontraproduktif, tapi negara dan pemerintah daerah harus mengarahkan gerak politik bangsa ke persatuan melawan Covid 19.
Oleh: Halimur Rosyid
(Dosen Fisip UNISDA Lamongan dan Pengurus PW LTNNU Jawa Timur)