Konsep Nusyuz dan Kesetaraan Gender

  • Whatsapp

Oleh: Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Dalam hukum perkawainan (fikih munakahat) dikenal lembaga hukum nusyuz. Meskipun tidak disertai deskripsi berupa uraian epistemologisnya, lembaga ini secara tersurat juga telah disebut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Para ulama (klasik) tampaknya berbeda dalam memberikan definisi nusyuz. Hanya saja meskipun berbeda, secara umum memang tetap pada posisi yang sama, yaitu menempatkan perempuan (istri) sebagai subordinat laki-laki (suami). Dan, dalam perkembangan, para pemikir kontemporer juga memberikan difinisi sendiri. Yang pasti, definisi yang mereka kemukakan dikaitkan dengan isu-isu aktual, seperti kesetaraan gender dan HAM.
Meskipun demikian, diskursus nusyuz, sacara faktual, selalu tidak bisa lepas dari 2 ayat dalam al Qur’an. Pertama, surat An Nisak 34, dalam hal ini nusyuz istri dan kedua Surat an Nisak ayat 128, dalam hal ini nusyuz suami. Hanya saja terdapat perbedaan konsekuensi pragmatis dari kedua tipe nusyuz tersebut. Pada nusyuz istri secara rinci Allah memberikan petunjuk sekaligus hak suami atas sikap nusyuz istrinya. Saat suami melihat gejala istrinya nusyuz Allah, secara tersurat, memberikan ‘hak’ kepada suami untuk melakukan 3 tindakan secara bertahap, yaitu: menasihati jika tidak efektif, “pisah ranjang”, dan jika belum pula efektif “memukul”. Tentang tindakan terakhir ini, para ulama membuat interpretasi pukulan untuk tidak mengesankan sebagai kekerasan fisik, yaitu pukulan yang mengandung edukasi.
Sedangkan pada nusyus suami, sesuai Surat An Nisak ayat 128, Allah memberikan petunjuk agar keduanya dapat mengadakan perdamaian. As Sayid sabiq dalam fikih Sunnah menulis, bahwa jika seorang istri merasa khawatir terhadap nusyuz yang dilakukan suaminya disebabkan dia sedang sakit, sudah lanjut usia atau wajahnya tidak lagi menarik, maka istri diperbolehkan melakukan akad perdamaian, meskipun akad tersebut mengurangi sebagian hak istri untuk kerelaan suaminya.

Tampak ada perbedaan perlakuan Al Quran antara nusyuz istri di satu pihak dan nusyuz suami dipihak lain. Lebih jauh, As Sayid Sabiq menulis gambaran nusyuz suami. Sebagaimana ditulisnya, bahwa Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Dia adalah seorang perempuan yang ada di sisi suaminya, tetapi suaminya tidak lagi banyak berinteraksi dengannya, lantas dia ingin menceraikannya dan menikah dengan perempuan lain. Istrinya kemudian berkata, “Pertahankan diri saya. jangan kamu cerai aku; kamu boleh menikah dengan perempuan lain. Engkau bebas dari kewajiban memberi nafkah dan bagianku.

Realitas cara pandang tentang konsep nusyuz antara istri dan suami demikian membuat siapapun mengerti, bahwa seolah terdapat perbedaan konsekuensi atas nusyuz istri dan suami. Perbedaan ini, dalam konteks hukum kontemporer, tentu sudah bernuansa diskriminatif. Para penggiat kesetaraan gender, yang anti Islam, sering menjadikan lembaga hukum nusyuz demikian menjadi salah satu bahan cemoohan. Tanpa kemauan menelusuri latar belakang historisnya, bahkan ada yang serta merta berkesimpulan, hukum keluarga islam bertentangan dengan kesetaraan gender atau diskriminatif. Bahkan, ada yang mengatakan, bahwa paradigma nusyúz yang cenderung menempatkan perempuan sebagai manusia second class. Ironisnya yang demikian justru dibakukan negara melalui Kompilasi Hukum Islam. Betapa konsep nusyuz dengan tipologi demikian, sudah melembaga sampai para ahli bahasa pun (baca; KBBI) juga mengartikan nusyuz bernuansa bias gender yaitu “perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suami (tanpa alasan) yang tidak dibanarkan oleh hukum.”

Cara pandang demikian membenarkan stigma, bahwa Kompilasi Hukum Islam masih kurang responsif terhadap kepentingan dan hak-hak isteri. Terdapat fakta ada sebuah ketimpangan gender mengenai konsep nusyuz yang semakin diperkuat dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam hanya berpihak kepada suami. Pertanyaan yang sering timbul adalah lantas, mengapa Al Quran memberikan konsep berbeda menganai nusyuz istri dan nusyuz suami?
Rasa Keadilan Lokal dan Universal
Konsep menganai nusyuz merupakan bagian dari konsep hukum yang dikemukakan dalam Al Qur’an. Dan, yang pasti Al Qur’an diturunkan untuk mengatur manusia. Manusia yang dipotret al Qur’an dalam konteks hukum adalah juga masyarakat waktu itu. Jika tujuan hukum adalah keadilan, maka yang dimaksud keadilan adalah rasa keadilan waktu itu pula. Pada saat yang sama, Al Quran adalah wahyu terakhir untuk menjadi pedoman sapanjang zaman. Dengan demikian, sejatinya Islam mengenal rasa keadilan yang bersifat lokal dan bersifat temporal dan keadilan universal yang bersifat kekal.

Konsep nusyuz dalam pengertiannya selama ini, tidak bisa dilepaskan dari rasa keadilan lokal yang temporal. Masyarakat Arab yang paternalistik waktu itu, memerlukan jawaban-jawaban hukum seperti yang tersurat di banyak ayat Al Quran dan juga teks-teks Hadits. Pada saat yang sama Al Qur’an ternyata juga tidak menafikan dinamika manusia dan pola hidupnya akibat perkembangan zaman. Sebagai responnya, telah banyak pula para pemikir Islam (Ulama) kontemporer, dengan tetap memegang prinsip-prinsip ajaran Islam, yang sering menawarkan konsep keadilan versi kekinian. Sebagai contoh, kalau dulu perempuan tidak bisa menjadi pemimpin, kini para ulama membolehkan perempuan menjadi presiden, perdana mentri, atau pemimpin formal lainnya. Dinamika pemikiran demikian tentu bukan dimaksudkan mengubah teks-teks agama yang baku (Al Quran dan Al Hadits), melainkan upaya maknai ulang dengan mencari substansi makna teks-teks yang tersirat. Sehingga, dogma bahwa ajaran agama mampu menjawab tantangan zaman benar-benar terbukti.

Dalam konteks lembaga nusyuz yang selama ini terkesan diskriminatif sejatinya hanya persoalan interpretasi, bukan substansi. Eksistensi 2 ayat mengenai nusyuz tersebut, baik nusyuz istri dan maupun nusyuz suami, merupakan respon atas budaya patriarki (Arab) yang melatarbelakangi turunnya kedua ayat tersebut. Dengan demikian konsep nusyuz yang diskriminatif tersebut, memang sangat dimungkinkan dapat berubah sesuai dinamika masyarakat saat ini dan yang akan datang. Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait