Konsepsi Nafkah Istri Dan Eksistensi Fikih

  • Whatsapp

Oleh: H.Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)

Gerakan emansipasi para feminis Barat yang dipimpin Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton muncul pada pertengahan abad ke-19 ( tepatnya pada tanggal 20 Juli 1848) di Amerika. Sejak saat itu, eksistensi kaum perempuan tampaknya seperti menjelma di dunianya sendiri. Eksistensinya, seolah memiliki nilai tawar tersendiri dalam kehidupan sosial dan politik. Di Indonesia era itu dimulai sejak kemunculan RA Kartini yang baru ada sekitar tahun 1900-an. (Beliau lahir 21 April 1879) dan disusul para eksponen wanita lainnya, seperti Dewi Sartika (Lahir 4 Desember 1884 di Bandung), Rasuna Said (lahir 14 Desember 1910, di Agam Sumatera Barat). Tentang keperkasaan perempuan ini sebelumnya juga telah menjadi legenda sejarah seperti Cut Nya’ Din dan Nayi Ageng Serang.

Tetapi apapun motivasi gerakan kaum Hawa itu, dalam perjalanan berikutnya membawa perubahan pemikiran mengenai eksistensi perempuan. Gerakan yang semula menuntut persamaan dalam ranah pendidikan. Seiring dengan keberhasilan peningkatan mutu pendidikan perempuan kini telah mengakibatkan perluasan perempuan dari segi peran. Banyak perempuan yang dulu hanya berdiam di rumah akibat kini banyak yang sudah sarjana atau karena pengalaman yang dimiliki harus keluar rumah menduduki peran-peran tertentu di berbagai sektor kehidupan. Beberapa peran itu bahkan telah dengan sengaja diciptakan oleh sistem sehingga sudah melembaga sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari. Contoh mengenai masalah terakhir ini yang paling nyata ialah adanya keharusan memberi porsi 30 persen perempuan pada calon legistatif. Sehingga, setiap menjelang pemilu, kita saksikan, berbagai partai politik sibuk mencari perempuan guna dicantumkan ke dalam daftar caleg sekedar memenuhi target aturan pemilu tersebut.

Akibat peran-peran itu, kini pun kini sering menyaksikan mobilitas perempuan semakin tinggi. Fenomena potret perempuan demikian pada akhirnya berpengaruh kepada pemikiran hukum. Sebagai akibat globalisasi, mau tidak mau juga berpengaruh kepada hukum Islam, khususnya menyangkut hukum keluarga. Banyak aspek yang berkenaan dengan perempuan ini kini perlu penafsiran ulang. Para pakar hukum islam tampaknya terus menggali dengan melakukan reinterpretasi (penafsiran ulang) terhadap teks-teks ajaran ( al Qur’an dan al Hadits ) berkenaaan dengan eksistensi perempuan, seperti kini telah terbit kitab-kitab fikih yang berkenaan dengan perempuan. Ada yang yang masih inklusif karena masuk bagian dari pembahsan masalah lain, tetapi ada yang yang sudah secara eksklusif mengenai perempuan.

Salah satu yang menjadi tema pemikiran hukum ketika membahas eksistensi perempuan di bidang hukum ialah bagaimana kedudukan perempuan dalam keluarga. Pemikiran mengenai kedudukan ini penting karena menjadi pijakan pemikiran mengenai hak dan kewajiban dan segenap aspek yang terkait dengannya. Akan tetapi, gerakan yang melahirkan fikih kontemporer itu rupanya belum mempersoalkan seluruh persoalan perempuan terkait hukum keluarga. Salah satu lembaga hukum yang perlu mendapat porsi untuk dikaji ulang ialah nafkah istri.

Diskursus mengenai nafkah istri, yang menjadi kewajiban suami dan pada saat yang sama menjadi hak istri, memang telah didasarkan teks-teks agama yang sudah kredibel. Konsekuensi hukumnya, akibat pemahaman teks-teks tadi sampai kini memang terlanjur dipahami, tidak saja sebagai sesuatu yang final, tetapi juga terlanjur dianggap hukum sakral. Mempertanyakan lagi status hukum nafkah istri tidak saja membuang-buang waktu tetapi juga melanggar kesakralan kewajiban nafkah. Padahal, mengapa nafkah diwajibkan kepada suami, terdapat situasi sosial yang melatarbelakanginya. Situasi yang meletar belakangi itu ialah kondisi masyarakat Arab saat wahyu diturunkan.

Sebagaimana diketahui, di dunia Arab (khususnya Arab Saudi) pada umumnya perempuan tidak banyak peran. Ketinggian harkat dan martabat perempuan justri dilihat seberapa patuh untuk tidak keluar rumah berhijab ketika harus berkomunikasi dengan laki-laki bukan mahram (ajnabi). Dengan alasan agama di Arab Saudi perempuan dilarang bepergian sendirian. Demi menjaga kehormatan perempuan, di Saudi perempuan juga dilarang menyetir mobil. Akibat pembatasan mobilitas perempuan, sering dijumpai semua kebutuhan perempuan menjadi tanggung jawab laki-laki (suami).
Potret perempuan Saudi tersebut tentu sangat berbeda dengan perempuan di Indonesia saat ini. Di Indonesia laki-laki perempuan dari sisi peran hampir tidak ada bedanya. Ketika kita naik bus kota atau angkutan umum misalnya kita bisa menghitung, berapa penumpang laki-laki dan berapa penumpang perempuan. Ketika Indonesia menghadapi pemilu (pilpres dan pileg), kaum perempuan bahkan telah berhasil mengorganisasi diri ke dalam kelompok “emak-emak” yang kefanatikandukungannya kepada kontestan tertentu sangat diperhitungkan oleh para politisi. Pendek kata, satu-satu yang perbedaaan laki-laki dan perempuan yang masih tersisa kini hanya bentuk alat kelamin yang dimiliki. Hampir semua sektor pendidikan, ekonomi, dan politik sekarang sudah dimasuki perempuan. Bahkan, survey membuktikan, pada sektor-sektor tertentu yang dulu hanya ‘dikuasai’ laki-laki kini justru banyak ‘direbut’ perempuan.

Intinya, perubahan yang memberikan kesempatan perempuan berkiprah di berbagai sektor, kini banyak perempuan yang menjelma sebagai makhluq yang sangat ‘perkasa’. Banyak perempuan yang dulu hanya bergantung kepada laki-laki, kini sudah banyak perempuan yang mandiri. Mereka bebas pergi ke mall kapan pun karena mempunyai uang dari keringat sendiri. Situasi dan kondisi demikian jelas mengundang kita untuk berpikir. Terkait dengan lembaga hukum nafkah, pertanyaan yang perlu kita ajukan, apakah nafkah mutlak menjadi kewajiban suami, atau harus dilihat secara kasuistis? Lantas apa konsepsi nafkah kaitannya dengan kehidupan suami istri, semata-mata menjadi hak istri atau untuk menopang kelangsungan berumah tangga untuk mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah?

Sebagaimana diketahui, bahwa dalil-dalil naqli mengenai nafkah, memang telah menetapkan kewajiban suami memberi nafkah istri. Akan tetapi, tidak ada yang menerangkan mengapa suami diwajibkan menafkahi istrinya. Setidaknya, hal demikian pernah dikemukakan oleh seorang pakar fikih kontemporer Prof.Dr. Satria Efendi. Pemikiran kembali mengenai hal ini, sangat diperlukan guna menemukan illat hukum (alasan mengapa hukum ditetapkan). Dalam hukum keluarga memang telah dtetapkan hak kewajiban suami istri. Apa yang diwajibkan kepada suami pada saat yang sama menjadi hak istri, dan sebaliknya.Suami berhak mendapat kan hak dari istri karena, pada saat yang sama, suami telah menunaikan kewajibannya kepada istri, dan sebaliknya. Dengan demikian, inti dari setiap pembicaraan menganai hak dan kewajiban dalam kehidupan keluarga (suami istri) muaranya adalah keadilan. Lantas, adilkah suami yang papa harus dibebani kewajiban nafkah untuk istri karier yang notabene lebih berkemampuan secara ekonomi sementara istri tetap ingin mempertahankan kondisi perkawinannya dengan suami tersebut?

Wacana di atas cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa perubahan situasi dan kondisi eksistensi perempuan seperti sekarang yang menyebabkan perubahan cara berkeluara, rupanya tidak dibarengi dengan perubahan pemikiran mengenai hak dan kewajiban suami istri. Akibatnya, kaitannya dengan kehidupan berumah tangga (perkakwinan) ini, terjadi ‘ketimpangan’. Di satu sisi, perempuan kini telah banyak yang menjelma sebagai manusia perkasa, tetapi di pihak lain pada saat yang sama perempuan seolah harus dipandang sebagai manusia tidak berdaya karena masih harus tergantung pada suami.

Akibat ambiguitas pemikiran mengenai nafkah, tampaknya harus dibayar mahal. Kini banyak perempuan (istri) minta cerai. Fakta menunjukkan, bahwa di Pengadilan Agama seluruh Indonesia perkara perceraian rata-rata meningkat dan hampir 90 persen adalah kasus cerai gugat. Cerai gugat tidak lain adalah perceraian yang diajukan oleh istri (perempuan). Dari kasus perceraian yang ada, penyebabnya juga lebih didominasi oleh ketidakmampuan suami memberikan nafkah istri. Yang lebih ironis lagi, ketika suami bermaksud menceraikannya karena alasan-alasan tertentu, dalam kasus cerai gugat, akibat dukungan sistematis sebuah aturan, istri tetap mengajukan tuntutan nafkah dan hak-hak lainnya. Padahal, sebelumnya istri yang mengajukan cerai ‘tidak boleh’ mengajukan tuntutan nafkah.Yang lebih memprihatinkan, banyak istri kini, dalam perkara perceraian yang diajukannya, juga dengan ‘semena-mena’ mengajukan tuntutan nafkah yang sebelumnya tidak terbayar oleh suami (nafkah madhiyah). Alasannya, karena biaya hidup yang dipakai untuk keperluan domestik keluarga selama ini, memakai uang keringat istri. Padahal, dia tahu suaminya adalah orang yang tidak berdaya secara ekonomi. Apalagi, jika suami terindikasi melakukan perbuatan yang mengecewakannya, hak menuntut nafkah yang dianggapnya belum terbayar itu, seolah menjadi ajang balas dendam istri. Kalau sudah demikian, tentu kita hanya bisa berkata kepada para suami: “Kasihan deh lo…!”

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait