Oleh : Wibisono
Kontroversi mengenai joint statement antara Republik Rakyat Tiongkok (PRC) dan Indonesia sering kali berpusat pada sejumlah isu geopolitik dan ekonomi yang melibatkan kepentingan kedua negara di Asia Tenggara, terutama terkait dengan klaim wilayah di Laut Cina Selatan (LCS) dan hubungan bilateral kita.
Dalam butir 9 dengan judul “The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation” disebutkan bahwa “The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims”
Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan.
Untuk diketahui hingga berakhirnya pemerintahan Jokowi, Indonesia memilki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak Sepuluh (dahulu Sembilan) Garis Putus dari China. Hal ini karena klaim Sepuluh Garis Putus tidak dikenal dalam UNCLOS dimana Indonesia dan China adalah negara peserta.
Beberapa aspek yang kerap memicu kontroversi dalam joint statement ini adalah:
Isu Laut Cina Selatan (LCS):
China memiliki klaim teritorial yang luas di Laut Cina Selatan, yang tumpang tindih dengan klaim dari beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia. Pada beberapa kesempatan, Indonesia menegaskan bahwa kawasan Natuna, yang terletak di Laut Cina Selatan, adalah bagian dari wilayahnya. Jika dalam joint statement tersebut ada pernyataan yang dianggap mendukung klaim China atau kurang mendukung posisi Indonesia, hal ini bisa menimbulkan kontroversi domestik di Indonesia (walau Kemlu telah mengklarifikasi kemarin, tanggal 11/11/2024).
Kepentingan Ekonomi:
Indonesia dan China memiliki hubungan ekonomi yang erat, dengan China menjadi salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Namun, ada ketegangan terkait dengan proyek-proyek infrastruktur yang didanai oleh China, seperti Belt and Road Initiative (BRI), yang dapat menimbulkan kekhawatiran tentang ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap China. Beberapa pihak di Indonesia mengkhawatirkan adanya potensi dominasi ekonomi yang bisa merugikan kepentingan nasional (banyak sekali contoh negara yang pailit dan berkegantungan dengan China untuk keberlangsungan negaranya).
Pernyataan Bersama yang Umum:
Kadang-kadang, pernyataan bersama semacam itu dianggap terlalu diplomatis dan tidak cukup mencerminkan posisi tegas Indonesia, terutama dalam hal masalah-masalah yang sangat sensitif seperti hak asasi manusia, kebebasan beragama, atau kebijakan luar negeri.
Pengaruh Politik Dalam Negeri:
Dalam beberapa kasus, pernyataan bersama dapat dipolitisasi oleh oposisi dalam negeri. Kelompok yang mengkritik pemerintahan Indonesia mungkin akan menilai pernyataan tersebut sebagai tanda ketergantungan terhadap negara besar seperti China, yang bisa merugikan kedaulatan Indonesia.
Meskipun demikian, banyak pihak yang menganggap bahwa hubungan Indonesia dengan China harus dijaga dan dipertahankan dengan bijaksana, mengingat posisi strategis Indonesia di kawasan dan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan nasional.
Kesimpulan menurut saya, walau memang jelas mengganggu bahkan mengusik kedaulatan negara kita (terutama kedaulatan di laut), pada kenyataannya kita sangat membutuhkan peran China untuk perkembangan negara kita sehingga kita harus jujur bahwa tekanan dari China terlalu kuat untuk mengguncang stabilitas nasional sehingga tanpa disadari kita tidak bisa berbuat banyak.
Penulis: Pengamat militer dan pertahanan