JAKARTA, beritalima.com- Tidak terbantahkan lagi bahwa Masyarakat Adat aktor utama penjaga kelestarian lingkungan hidup, juga telah memberikan kontribusi ekonomi. “Riset yang dilakukan AMAN (2018) menunjukan bahwa nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) di enam wilayah adat menghasilkan Rp 159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan mencapai Rp 170,77 miliar per tahun, dan ini dapat mendorong perekonomian di daerahnya,” ujar Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM PB AMAN, yang disampaikan dalam Diskusi Media “Kontribusi Masyarakat Adat untuk Indonesia” pada 25 Februari 2020.
Salah satu bentuk sumbangan nyata Masyarakat Adat di Bidang Ekonomi, melalui Koperasi Simpan Pinjam yang disebut Credit Union (CU). “CU justru berkembang setelah mengalami proses inkulturasi budaya dengan Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Barat pada tahun 80-an. CU kemudian tumbuh besar menjadi gerakan ekonomi rakyat, tak hanya untuk dan di wilayah Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat tetapi meluas hampir sebagian besar pulau Kalimantan, Papua, NTT, dan Pulau Jawa. Tahun 2018, CU di Kalbar memiliki aset sebesar Rp 6,5 trilun, sementara di tahun yang sama, APBD Provinsi Kalimantan Barat hanya Rp 5,9 triliun”, ungkap Alexander Mering, Comm Program Peduli-Kemitraan.
“Namun sedikit penghargaan yang telah diberikan oleh pemerintah, bahkan oleh masyarakat umum. Masyarakat masih memandang Masyarakat Adat secara sepotong-sepotong, mengakui tari-tariannya, tetapi merendahkan kepercayaan dan pengetahuannya,” ujar Bona Beding dari Forum Masyarakat Adat Pesisir. “Kebudayaan bahari kita, lahir dari ketangguhan dan pengetahuan masyarakat adat,” tegasnya.
Pemerintah terlalu sering mengabaikan eksistensi MA, padahal konstitusi kita sudah jelas mengakui dan melindungi Masyarakat Adat yang diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, dan Satuan Pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa diatur di dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. kriminalisasi terhadap masyarakat adat masih terus berlangsung. Data AMAN menyebutkan 125 masyarakat adat di 10 wilayah menjadi korban kriminalisasi di kawasan hutan. Mereka tersebar di Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
“Tindak pidana yang kerap ditujukan pada masyarakat adalah: memasuki tanah PTPN tanpa izin, pengrusakan, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin, penganiayaan, melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dan menguasai tanah tanpa izin. Selain itu, dalam beberapa kasus yang spesifik, masyarakat dituduh merintangi kemerdekaan orang untuk bergerak di jalan umum, pengancaman, melakukan perbuatan tidak menyenangkan, dan menghentikan aktivitas alat berat”, ujar Era Purnama Sari, Wakil Ketua Advokasi YLBHI.
Terhadap kondisi ini, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat merekomendasikan UU Masyarakat Adat perlu segera hadir, agar ada pengaturan yang tegas dan perlindungan secara komprehensif bagi Masyarakat Adat. Arimbi Heroepoetri dari debtWATCH Indonesia menyatakan bahwa setidaknya UU Masyarakat Adat harus memuat delapan hal, yaitu: Pertama, merujuk kepada satu istilah, yaitu Masyarakat Adat. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adat maupun Masyarakat Tradisional dapat digunakan bergantian dengan merujuk kepada satu istilah, yaitu Masyarakat Adat. Kedua, Berbasis HAM serta Memasukan prinsip-prinsip HAM.
Ketiga, Memuat aturan tentang pemulihan hak. Jenis pemulihan hak yang wajib diatur dalam RUU adalah Grasi, Amnesti, Abolisi, Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi. Keempat, mengakui Hak atas identitas budaya. Kelima, Pengaturan penyelesaian konflik. Keenam pengakuan dan perlindungan atas kekayaan intelektual. Ketujuh, pengakuan tentang hak anak, pemuda dan perempuan adat, dan Kedelapan Perlu adanya pasal-pasal mengenai tindakan khusus sementara bagi Masyarakat Adat pada umumnya, seperti pendidikian bagi kelompok mainstream agar mengenali dan menghormati eksistensi masyarakat adat.
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat telah mencermati bahwa substansi Omnibus Law (OL) RUU Cipta Kerja menempatkan masyarakat adat pada kondisi yang lebih buruk jika diundangkan. “RUU ini sekali lagi abai dan tidak berhasil mengenali keberadaan masyarakat adat sebagai subjek yang paling rentan terdampak investasi. Juga gagal melihat peran masyarakat adat dalam pembangunan perekonomian daerah dan penjagaan kelestarian lingkungan hidup. Semisal Pengadaan lahan untuk kegiatan usaha yang paling banyak diatur–dan mengancam masyarakat adat- dalam RUU Cipta Kerja. Pengadaan lahan ini akan diamanatkan melalui Bank Tanah yang masuk menjadi bagian RUU ini tanpa berdasar pada kajian khusus dalam Naskah Akademiknya. Salah satu wewenang Bank Tanah yang diatur dalam Pasal 171 adalah mengakuisisi asset berupa ‘hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan’ yang ditelantarkan lebih dari dua tahun; Bank Tanah bisa mengakuisisi lahan apapun yang dinilai terlantar. Selain itu, Bank Tanah juga dapat memberikan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai selama 90 tahun,” kata Wahyubinatara Fernandez, RMI.
“Karena itu, potensi konflik lahan karena perampasan tanah di wilayah-wilayah adat akan meningkat jika pembahasan RUU Cipta Kerja tidak menempatkan Masyarakat Adat sebagai subyek. Padahal, telah banyak terbukti bagaimana perekonomian mikro menjadi pondasi bagi stabilitas ekonomi nasional, salah satunya pada krisis ekonomi global tahun 2008,” imbuh Wahyubinatara.
Mengingat RUU Masyarakat Adat dan RUU Cipta Kerja masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020, artinya akan dibahas dalam kurun waktu yang sama oleh DPR dan Pemerintah, maka Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat meminta DPR RI melakukan revisi total RUU Cipta Kerja dengan memperhatikan substansi RUU Masyarakat Adat. (Johan).