Dhimam Abror Djuraid
Rokok tak pernah lepas dari kontroversi. Dokter menyebutnya berbahaya. Sebagian ulama menyebutnya haram. Orang tetap merokok.
Di koran dan televisi gencar publikasi bahaya merokok, sangat inspiratif. Besoknya semua perokok berhenti baca koran dan tidak menonton televisi, dan terus merokok.
Muhammadiyah mengharamkan, NU tidak mengharamkan. Orang Muhammadiyah yang merokok dijuluki “ahli hisap”, orang NU yang merokok dijuluki “suni”, nyusu geni, menyusu api.
Pernah dengar produk rokok “Jarang di Rumah Suka Pergi”? Betul Jarum Super.
Ada juga yang menyebutnya “jarang di rumah suka perempuan”, dan ini rada sensitif untuk emak-emak.
Bos rokok yang jarang di rumah ini beberapa waktu belakangan ini viral gegara surat yang dikirimnya ke Presiden Joko Widodo menyebar di media dan bikin heboh.
Si bos adalah Robert Budi Hartono alias Oei Hwie Thjong, manusia paling tajir di Indonesia dengan kekayaan keluarga lebih dari Rp 500 triliun.
Dalam surat itu Budi Hartono menyatakan keberatan terhadap penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di DKI oleh Gubernur Anies Baswedan.
Rem darurat PSBB dianggap tidak tepat dan akan lebih banyak menimbulkan kerugian ekonomi dan membawa dampak negatif terhadap korporasi.
Pemilik korporasi besar seperti Budi Hartono tentu punya logika sendiri dalam melihat kasus pandemi Covid 19 ini. Sebagai pelaku bisnis besar wajar ia mengkhawatirkan munculnya kerugian akibat kebijakan yang dianggap tidak pro kepentingan bisnis.
Sebagai pelaku bisnis wajar saja Budi lebih memikirkan pertumbuhan perusahaannya ketimbang pertimbangan lain seperti penularan Covid 19 yang tidak terkendali, misalnya.
Korporasi memang dibentuk untuk menjadi mesin pengumpul uang, bukan untuk menjadi lembaga amal. Karena itu korporasi hanya memikirkan profit above all, keuntungan di atas segala-galanya.
Karena itu korporasi tidak punya titik henti untuk mengumpulkan kekayaan.
Orang Surabaya menyebutnya “nggragas”, orang Inggris menyebutnya “greedy”.
Konotasinya negatif, tamak dan serakah, menggambarkan orang yang makan apa saja yang ada di depannya tanpa peduli milik siapa.
Tapi, dalam konteks yang berbeda, nggragas, ketamakan, keserakahan dianggap baik, “greed is good” seperti yang dipopulerkan oleh si tokek Gordon Gecko dalam film “The Wall Street”.
Nggragas dianggap baik karena menjadi mesin kekuatan yang mendorong orang untuk bekerja keras mengakumulasi kekayaan dan modal untuk menjadi kapital yang terus membesar tanpa batas.
Ruh kapitalisme adalah greed; ketamakan untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin dan memaksimalkan kesenangan pribadi.
Bersikap nggragas untuk mencari kepuasan pribadi adalah sesuatu yang sah dan bahkan menjadi impian setiap orang.
Di Amerika hal itu disebut sebagai “mimpi Amerika”, “The American Dream” setiap orang boleh bermimpi untuk meraih kesenangan pribadi dengan mengumpulkan kekayaan material sebanyak-banyaknya.
Dalam upaya mewujudkan mimpi itu sering terjadi tindakan yang melanggar aturan dan etika. Tapi demi mengejar mimpi Amerika, pelanggaran-pelanggaran itu dianggap sesuatu yang biasa atau bahkan sah, dan sanksi hukum yang diterima tidak terlalu berat.
Mimpi Amerika adalah mimpi mengejar kekayaan material yang serba dimungkinkan dalam iklim persaingan bebas kapitalisme yang dipandu oleh “tangan gaib” the invisible hand.
Mesin pemburu mimpi Amerika paling efektif adalah perusahaan korporasi raksasa yang kerjanya setiap hari mengakumulasikan kekayaan tanpa batas menjadi konglomerasi yang meraksasa.
Korporasi ini menjadi lokomotif pengumpul kekayaan yang beroperasi dalam suasana persaingan bebas nyaris tanpa aturan, dan negara laissez faire hanya mengawasinya dari jauh.
Begitu besar dan pentingnya korporasi di Amerika sampai negara melindunginya dengan berbagai cara, too big to fail, korporasi itu tidak boleh bangkrut.
Penipuan dan penggarongan besar-besaran dilakukan oleh korporasi besar, tapi para CEO hanya dihukum ringan, dan rata-rata mereka malah mendapat bonus besar.
Pembukuan korporasi tidak mengenal kurang (-) atau bagi (÷), yang ada hanya tambah (+) dan kali (×).
Karena itu mustahil mengharapkan korporasi untuk berbagi dan mengurangi profit mereka, karena urusan mereka selalu tambah dan kali. Urusan mereka hanya profit. Kalau ada urusan biaya atau risiko sosial terhadap masyarakat, externalities, biarlah pemerintah dan masyarakat yang menanggung.
Tidak ada dalam kamus korporasi urusan zakat, infaq, shadaqah, atau tanggung jawab sosial. Corporate social responsibility (CSR) hanya mitos, dan korporasi hanya mau melakukannya karena terpaksa oleh hukum.
Di negara sosialis dan komunis manusia dan korporasi nggragas seharusnya tidak punya tempat. Tapi yang terjadi sekarang sama saja. Di negeri komunis seperti Tiongkok dan negeri setengah komunis seperti Rusia orang-orang nggragas jumlahnya tak kalah sedikit dari negara-negara kapitalis.
Di Tiongkok sebelum 1980-an nggragas adalah kejahatan melawan partai dan negara. Tapi, pada 1987 Deng Xiaoping mengumumkan bahwa nggragas adalah baik, greed is good, menjadi kaya adalah mulia. Sejak itu orang-orang nggragas bermunculan dan Tiongkok yang komunis tidak ada bedanya dengan Amerika yang kapitalis.
Di Indonesia era Soeharto para taipan diberi keleluasaan besar membangun konglomerasi korporasi melalui monopoli dan berbagai konsesi.
Mereka dibolehkan mengakumulasi modal dan kekayaan sebanyak mungkin sampai tak bisa tertampung lagi sehingga terjadi trickle down effect, efek luberan ke bawah yang bisa ditadah rakyat.
Tapi logika korporasi tidak seperti itu. Jangankan meluber, menetes dan menguap pun tidak bakal dibiarkan. Maka ketika terjadi luberan ditampung oleh perusahaan baru lagi. Ketika terjadi luberan ditadah oleh perusahaan baru lagi. Begitu seterusnya tanpa henti.
Maka alih-alih pemerataan yang terjadi adalah konglomerasi vertikal dan horisontal, penguasaan ekonomi dari hulu ke hilir, ujung ke ujung.
Pak Harto geregetan melihat perkembangan ini. Pada 1990 para taipan dikumpulkan di peternakan milik Pak Harto di Tapos, Bogor. Lim Sioe Liong, Willem Soeryajaya, Eka Tjipta Wijaya, Prajogo Pangestu, Bob Hasan, Sofyan Wanandi, kumpul semua.
Sambil cengar-cengir Pak Harto kasih contoh cara memeras susu sapi. Setelah acara peras-memeras susu sapi Pak Harto langsung memeras para taipan itu supaya membagi sebagian sahamnya ke koperasi.
Meskipun bukan orang Jawa tapi para taipan itu tanggap ing sasmita, sudah hafal isyarat politik Pak Harto. Daripada diperas habis seperti susu sapi setiap hari lebih baik mengalah membagi sebagian saham untuk koperasi.
Dalam hal politik simbol Pak Harto memang super-canggih, jauh dibanding politik mebel presiden kita sekarang.
Zaman Pak Harto ekonomi menjadi panglima, para taipan dibolehkan menguasai ekonomi tapi tidak boleh berpolitik. Zaman sekarang para taipan menguasai ekonomi, membeli pengaruh politik, dan membikin partai politik sendiri.
Surat Budi Hartono yang heboh, kasus Joko Tjandra yang meluber sampai jauh kemana-mana menunjukkan pengaruh besar para taipan itu dalam pengelolaan kebijakan nasional.
Bukan sekadar ekonomi yang jadi panglima, para taipan itulah the real panglima.
Para taipan rokok sudah menghidupi ekonomi puluhan juta orang. Kalau industri rokok ditutup ekonomi nasional bisa sesak nafas.
Para perokok terpecah sikapnya terhadap surat Budi Hartono. Ada yang aktif ada yang pasif.
Ada yang marah, ada yang memboikot, ada yang geregetan minta supaya Djarum dibagikan gratis.
Perokok aktif berbahaya untuk kesehatan.Yang lebih bahaya dan mbencikno adalah perokok pasif, mereka yang merokok tapi pasif beli, sukanya minta jatah teman..()
*Penulis Wakil Ketua Dewan Pakar SMSI Pusat