KPPU: Harga Gula di Indonesia Lebih Tinggi Dibandingkan Internasional

  • Whatsapp

SURABAYA, beritalima.com | Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), menurut Guntur S. Saragih, Juru Bicara dan Anggota KPPU, telah melakukan penelitian terkait mahalnya harga gula saat ini.

Salah satu hasilnya, adalah adanya persoalan tingginya harga gula pasir atau gula konsumsi nasional dari dua sisi, yakni kinerja sektor dan perilaku pelaku usahanya.

Kinerja sektor ini terkait dengan faktor-faktor pembentuk harga seperti produksi, penyimpanan, dan distribusi. Sedangkan perilaku pelaku usaha terkait bagaimana para pelaku usaha berinteraksi dalam melakukan kegiatan usahanya. Kedua sisi tersebut tentu dapat saling terkait.

Sebagaimana pernyataan KPPU dalam siaran sebelumnya, perilaku pelaku usaha ditangani dalam suatu proses penegakan hukum yang tengah berjalan. Sementara kinerja sektor ditangani dalam suatu proses kajian atau penelitian.

Indonesia membutuhkan gula konsumsi sekitar 3 juta ton/tahun. Jumlah ini 73%-nya atau sekitar 2,1 juta hingga 2,2 juta ton dipenuhi oleh produksi dalam negeri, sementara sisanya dari impor.

Pasokan tersebut dilakukan oleh 24 pelaku usaha dengan total kepemilikan 58 pabrik gula. Dari jumlah produksi dalam negeri tersebut hingga 36%-nya dipenuhi oleh pabrik gula swasta yang memperoleh tebu dari perkebunan gula rakyat. Sisanya atau sekitar 800 ribu hingga 900 ribu ton dipenuhi melalui impor, baik dalam bentuk raw sugar atau gula kristal putih.

Dengan kecenderungan pasar yang oligopolistik, pemenuhan pasokan dan distribusi gula dilakukan oleh beberapa pelaku usaha, baik berupa Badan Usaha Milik Negara atau pun pelaku usaha swasta.

Kemampuan bersaing produsen gula di Indonesia ditentukan oleh kemampuannya dalam efisiensi berproduksi. Dalam artian, sejauh mana produsen gula mampu memproduksi dengan harga pokok yang terbaik.

Saat ini, kemampuan tersebut masih berbeda-beda. Penelitian di KPPU menemukan bahwa pelaku usaha swasta yang memiliki lahan perkebunan sendiri yang efisien mampu memproduksi dengan harga pokok yang berkisar antara Rp 6.000 hingga Rp 9.000 per kilogram.

Sementara harga pokok produksi petani tebu yang bermitra dengan pabrik gula, berdasarkan informasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) adalah sekitar Rp 12.000 hingga Rp 14.000, yang notabene dapat berada di atas harga acuan penjualan.

Tingginya harga pokok produksi petani tebu tersebut tentunya mengurangi kemampuan gula petani dalam berkompetisi dengan gula hasil produsen gula yang efisien.

Di sisi lain, pelaku usaha yang efisien lebih diuntungkan dengan keberadaan harga acuan penjualan yang ditetapkan Pemerintah Rp 12.500/kg. Hal ini terjadi juga pada importir gula kristal putih (baik gula kristal putih langsung atau melalui raw sugar yang diolah), yang harga pokok produksinya juga rendah. Keuntungan tersebut makin signifikan dengan harga pasar yang tinggi saat ini.

Sebagai ilustrasi, misalnya dengan kemampuan biaya produksi pabrik paling efisien yang berkisar di Rp 6.000/kg, dibandingkan dengan harga pasar saat ini yang mencapai Rp 17.500/kg, keuntungannya dapat mencapai 190%.

KPPU menilai pandangan para pelaku usaha yang menganggap nilai HET sebesar Rp 12.500/Kg yang ditetapkan pemerintah saat ini kerendahan, tidak lah tepat. Ide untuk menaikkan HET pada dasarnya tidak menyentuh substansi persoalan.

Pelaku usaha petani rakyat tidak pada bagian yang paling menikmati. Kenaikan ini justru paling dinikmati oleh pelaku usaha besar nasional dan pelaku usaha importir, dikarenakan adanya selisih harga yang begitu besar.

Harga gula di Indonesia saat ini jauh berada di atas harga acuan penjualan di level konsumen, dan bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan harga internasional.

Sebelumnya KPPU menyampaikan bahwa berdasarkan data International Sugar Organization, harga gula nasional dapat mencapai 240%-260% lebih tinggi dibandingkan harga internasional pada bulan April dan Mei 2020.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa harga gula internasional dalam 1 (satu) tahun belakangan ini cenderung stabil di harga Rp 5.000,- sampai Rp 6.000, per kilogram.

Beberapa indikator harga internasional menunjukkan 2 bulan terakhir, Maret dan April 2020, trend penurunan yang signifikan.
KPPU menilai biaya yang ditanggung oleh konsumen untuk membayar lebih tinggi jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya pemerintah untuk melakukan optimalisasi produktifitas industri gula petani rakyat.

“Untuk itu, Pemerintah perlu memberikan kebijakan yang mendukung petani tebu agar mereka mendapatkan hasil yang menguntungkan,” pungkas Guntur. (Ganefo)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait