JAKARTA, Beritalima.com– Kinerja penanganan ekonomi Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat wabah pandemi virus Corona (Covid-19) mendapatkan banyak sorotan negatif dari masyarakat seiring dengan genap setahun usia pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, salah satunya dari ekonom sekaligus anggota Komisi XI DPR RI, Dr Hj Anis Byarwati.
Dalam keterangan pers yang diterima Beritalima.com, Jum’at (23/10) siang, Anis mengatakan, program stimulus penanganan ekonomi saat pandemi Covid-19 terangkum dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Dan, sampai akhir September 2020, realisasi anggaran pemulihan ekonomi nasional ini hanya 38,6 persen atau setara dengan Rp 258,3 trilyun dari PAGU yang dianggarkan Rp 695,2 trilyun. Rincian realisasi anggaran ini yaitu: bidang kesehatan Rp 21,92 trilyun atau 25,04 persen dari total Rp 87,55 trilyun.
Untuk bidang perlindungan sosial, realisasinya Rp 57,03 trilyun atau 77,1 persen dari total Rp 203,91 trilyun. Bidang sektoral Kementrian, Lembaga dan Pemda 25 persen atau Rp 26,61 trilyun dari total Rp 106,05 trilyun.
Bidang UMKM realisasinya Rp 84,85 trilyun atau 68,7 persen dari Rp 123,47 trilyun. Bidang insentif usaha realisasinya Rp 28,7 trilyun atau 23,27 persen dari Rp 120,61 trilyun. Sedangkan untuk realisasi bidang korporasi sampai September 2020 belum terealisasi dari anggaran Rp 53,57 trilyun.
Dikatakan Anis, jika diasumsikan pertumbuhan realisasi mencapai 20 per bulan hingga akhir tahun, realisasi program PEN ini hanya mencapai 50-60 persen. Itu artinya, bakal ada dana lebih dari Rp 300 trilyun yang tidak terserap. “Rendahnya realisasi mengakibatkan tujuan utama Program PEN itu belum dapat dinikmati oleh masyarakat,” kata Anis.
Hal itu tercermin dengan adanya pertumbuhan negatif pada kuartal kedua 2020, yaitu mencapai minus 5,3 persen. “Dengan angka seperti itu, kuartal ke-3 kita perkirakan masih negatif juga,” kata Anis yang juga ekonom lulusan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu.
Menjawab apakah Program PEN Pemerintah pimpinan Presiden Jokowi sudah cukup optimal membantu pelaku UMKM maupun masyarakat? Politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut memberikan catatannya.
“Yang harus menjadi catatan, total UMKM yang ada di Indonesia 59 juta lebih. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga April 2020 tercatat 10 juta UMKM yang dikategorikan berpotensi menerima restrukturisasi. Jumlah ini baru 16,9 persen dari total UMKM,” papar Anis.
Data tersebut menunjukkan, sebagian besar UMKM masih kesulitan mengakses layanan kredit formal dari perbankan maupun dari lembaga keuangan lain. Hal ini menyebabkan program restrukturisasi kredit UMKM tidak akan membantu sebagian besar UMKM di Indonesia.
Karena itu, ungkap Anis, perlu dipikirkan kebijakan tambahan untuk membantu UMKM. Perlu dipastikan 1545 BPR atau BPRS dan koperasi-koperasi juga mendapatkan akses yang adil dalamm restrukturisasi.
“Beban tekanan likuiditasi dan resiko kredit juga lebih besar di BPR atau BPRS, sehingga penting bagi pemerintah untuk memastikan bagaimana mereka dapat menjangkau penempatan dana pemerintah pada bank-bank peserta untuk program restrukturisasi. Presiden Jokowi harus pikirkan kebijakan untuk membantu UMKM,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)