JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Iswan Abdullah mengaku, sudah membaca serta menganalisa draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang diajukan pemerintah ke DPR RI.
Ternyata RUU Omibus Law, kata Iswan, sangat liberal, neolib dan bahkan ‘brutal’, karena meniadakan perlundungan dan mereduksi para buruh di Indonesia. Padahal, Indonesia ini adalah negara Panca Sila.
“Kenapa kami katakan demikian, karena paling tidak ada 3 hal yang dilanggar oleh RUU Omnibus Law dalam gerakan buruh seluruh di dunia termasuk Indonesia,” kata Iswan kepada awak media di Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta pekan ini.
Hal yang dianggap KSPI dilanggar RUU Omnibus Law adalah: Pertama, melanggar apa yang dinamakan job security atau jaminan pekerjaan, karena meniadakan jaminan dan perlindungan terhadap setiap warga negara, dalam hal ini pekerjaan dan penghidupan yang layak.
“Itu ditandai dengan penggunaan pekerja asing, dan pekerja out Sourcing. Padahal, kalau UU No: 13/2003 Out Sourcing hanya untuk jenis pekerjaan tertentu. Tapi sekarang dibuka seluas-luasnya. Itu artinya, perusahaan bebas memperkerjaan para pekerja bahkan memperdagangkan para buruh di tanah air kita,” beber dia.
Begitu pula Penggunaan Tenaga Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dibuka seluas-luasnya, sedangkan dalam UU No: 13/2003 disebutkan bahwa pekerjaan dengan sistem kerja waktu tertentu, hanya pekerjaan yang sifatnya sementara dan paling lama 3 tahun.
Dalam RUU Omnibus Law, juga diberikan seluas-luasnya kepada para pekerjaan para pekerja Indonesia. Bahkan memberikan kesempatan pada pekerjaan untuk status kontrak sampai mati, begitu juga Out Sourcing.
Kedua: UU ini mereduksi, bahkan meniadakan yang namanya income security atau jaminan pendapatan yang layak. Ini ditandai dengan UU ini meniadakan upah minimum.
“Betul dalam RUU ini dikatakan ada Upah Minimum Provinsi (UMP), tetapi kenyataannya penetapan UMP hanya dianut DKI Jakarta sama Yogjakarta. Provinsi lain menggunakan upah minimum kabupaten kota, termasuk upah minimum sektoral.
Bahkan, UU ini meniadakan Upah Minimum Kabupaten/Kota, sehinga bisa bayangkan saja, misalnya di Jawa Barat, dimana UMP 1,81 juta itu, upah minimum Kabupaten Majalengka, artinya Provinsi Jawa Barat itu, upah minimum terendah di Kabupaten Majalengka.
RUU Omnibus Law ini, kata Iswan, juga melegalkan pengusaha 2020-2021 menetapkan ini. Kalau di Bekasi yang upahnya Rp 4.500.000 , kemudian di Karawang Rp4.600.000, tahun depan pengusaha boleh memeberikan upah Rp 1,81 juta di Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Karawang dan sebagainya.
“Inikan mereduksi. Lebih aneh lagi, RUU ini mengatur upah minimum padat karya. Yang diatur ada upah minimum dibawah upah minimum. Ini ngawur. Padahal filosofinya, upah minimum adalah jaring pengaman safety net. Ini harusnya negara hadir guna memastikan tak ada pekerja yang miskin secara absolut akibat kebijakan pengupahan.”
Ketiga, ada yang di kenal dengan namanya social security, jaminan sosial, RUU Omnibus Law, bisa memastikan pekerja hilang jaminan sosialnya karena orang sudah kerja kontrak, Out Sorsing seumur hidup, juga diatur upah per jam.
Upah per jam ini memberikan keleluasaan kepada pengusaha untuk membayar upah minimum karena dilegalkan UU sementara syarat iuran premi BPJS ketenaga kerjaan dan BPJS kesehaatan itu adalah upah minimum sampai dengan 12 juta rupiah, itu kira-kira.
Iswan menduga bisa jadi RUU Omnibus Law ini liberal , neolib, sangat brutal, eksploitatif terhadap para pekerja Indonesia karena dari awal serikat buruh tidak. Bahkan di dalamnya Permenko 378 ada namanya satgas, satgas RUU Omnibus Law pengusaha di Indonesia, diketuai Rosan Roeslani.
Juga ada asosiasi pengusaha di Indonesia tanpa melibatkan serikat buruh. “Dan, itulah dugaan kami nuansa atau isi dari RUU Omnibus Law yang bercitarasa pengusaha, kapitalis karena mementingkan kepentingan mereka,” demikian Iswan Abdullah. (akhir)