JAKARTA, Beritalima.com– Victor Sitanggang SH selaku kuasa hukum ahli waris almarhum Ferry Imandaris mendesak Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Selatan mengeluarkan surat pembayaran ganti rugi pembebasan tanah peruntukan jalan tol Antasari-Depok yang dikonsinyasikan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Soalnya, jelas Victor dalam keterangan dia kepada Beritalima.com di Jakarta, Senin (1/2) pagi, sampai saat ini tidak ada kejelasan terkait ganti rugi terhadap tanah milik ahli waris Ferry Imandaris.
Padahal, lanjut Victor, tanah tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sesuai dengan Surat PN Jakarta Selatan Kelas IA Khusus bernomor W10U3/1269/HK.02/5/22019 tertanggal 31 Mei 2019 yang ditujukan kepada Rully Sulistio dkk para ahli waris dari almarhum Ferry Imandaris sebagai para termohon kasasi beralamat di Andara Dalam, Gang Al-Barkah Rt 004/Rw 002 Kel Pangkalan Jati Baru, Kec Cinere, Kota Depok.
Surat itu menerangkan mengenai putusan Mahkamah Agung RI No:2654/K/Pdt/2018 pada tanggal 13 Nopember 2018 yang memberitahukan kepada, -Pemohon Kasasi pada tanggal 29 Mei 2019 melalui Kantor Walikota Jakarta Selatan, termohon kasasi tanggal 06 Maret 2019, para termohon kasasi pada tanggal 27 Mei 2019, Ariel Suharis Munir dan Soemitro Tjokrowardojo, SH sebagai Termohon Kasasi pada tanggal 08 Maret 2019 melalui Kantor Walikota Jakarta Selatan, Termohon Kasasi pada tanggal 08 Maret, Para Termohon Kasasi pada tanggal 27 Mei 2019, turut Termohon Kasasi pada tanggal 08 Maret 2019 bahwa terhadap perkara tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang.
Victor memohon perhatian Kepala BPN Jakarta Selatan karena sudah lebih enam tahun sampai hari ini tidak ada kejelasan terkait dengan pembayaran ganti rugi terhadap klien dia.
Sebelumnya, kata Victor, klienny dia disuruh perkara di Pengadilan, sudah selesai sampai MA dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), tetapi juga sampai saat ini tidak selesai. “Kepala BPN Jakarta Selatan tidak menghargai putusan Pengadilan.”
Dalam kasus tersebut jelas Victor, BPN Jakarta Selatan menerbitkan Sertifikat Ajudikasi di tahun 2000 diatas tanah SHM 311 Cilandak Barat yang telah terbit pada tahun 1973 dan tanah itu telah sempat 3 kali ‘disekolahkan’ atau jadi agunan hutang Bank Hak Tanggungan baik bank Pemerintah maupun bank swasta yang dilegalisir serta Roya sendiri di BPN Jakarta Selatan.
Perkara sudah berjalan di PN, Pengadilan Tinggi (PT) dan MA, ternyata telah terbukti kalau diatas lahan itu tidak ada Sertifikat tumpang tindih seperti yang tuduhkan BPN, keculai hanya SHM No: 311 Cilandak Barat yang dapat kami buktikan pada sidang Majelis Hakim di tempat lokasi tanah tersebut.
Dapat saya simpulkan, lanjut Victor, kalau Sertifikat Ajudikasi tahun 2000 itu sertifikat bodong yang hanya permainan oknum-oknum untuk mencari keuntungan diatas tanah orang lain dengan cara licik dan menyuruh orang berdamai, sedangkan uang pembayaran ganti rugi itu dibagi dengan sertifikat bodong, padahal sudah ada putusan yang Inkracht.
Alasan kuasa hukum ahli waris menyatakan sertifikat ajudikasi tahun 2000 itu bodong karena konversi asal tanah selain berbeda letak gambar situasi juga luas tanah yang beda dan batas-batasnya tidak memperlihatkan adanya tumpang tindih.
“Enam tahun lebih klien kami jadi korban perkara di Pengadilan karena BPN, perkara habis-habisan di Pengadilan dan PTUN sampai MA, harta ludes dan menjual rumah sehingga kini tinggal di pinggiran, keluarga berantakan, semua akibat perbuatan yang mereka tidak inginkan,” kata Victor.
Penetapan Konsinyasi Pembayaran oleh PN Jakarta Selatan yang dimintakan Panitia Pembebasan Tanah/BPN Jalan Tol Antasari !- Depok perihal Konsinyasi adalah, lanjut Victor, dapat dibayarkan jika telah ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. “Dan, putusan itu semua telah ada dan juga sudah diserahkan kepada BPN Jakarta Selatan. Namun, BPN ingkar atas penetapannya dan tidak menghargai putusan hukum Indonesia.”
Jujur, jelas Victor, ahli waris itu sebenarnya tidak rela tanah mereka dibebaskan Bina Marga buat bisnis jalan Tol. Namun, terpaksa karena tanah mereka telah masuk Peta Bidang 48 yang harus dibebaskan untuk kepentingan umum sesuai UU No: 2/2012.
Mereka rela melepaskan haknya bermusyawarah dengan Panitia Pembebasan Tanah (P2T) dengan harga paling murah sesuai NJOP pajak yang mereka bayarkan sejak tahun 1976.
Dengan liciknya perangkat BPN, setelah semua dihitung harga luas tanah, harga luas bangunan dan harga pohon pohon di halaman tanah SHM 311 Cilandak Barat, harga dimusyawarahkan, disepakati dan ditandatangani pemilik SHM 311 dengan panitia, tanah segera dikosongkan.
Setelah tanah dan bangunan dikosongkan, ada pemberitahuan kalau belum dapat dibayarkan karena kata panitia/BPN ada tumpang tindih sertifikat. Fakta, pemilik tanah menjadi terhina, miskin sementara lingkungan itu saat ini jadi daerah mahal, sebaliknya ahli waris menjadi ‘gelandangan’ terombang ambing dan terusir.
Yang lebih ironis dan menyedihkan, lanjut Victor, tanah SHM 311 itu telah diserahkan Bina Marga ke PT Citra Washpputowa selaku investor jalan tol. Dan, diatasnya telah dibangun bangun pusat bisnis Pintu Gerbang Tol Cilandak Barat, Perkantoran, Restoran, Minimarket dan Mesjid yang semuanya beraksara bangunan China Tiongkok, pemilik tanah hanya dapat melihat dan tidak mengerti lagi tentang hukum di Indonesia.
Agar tidak berlarut penderitaan rakyat dan berkembang ke arah yang negatif kepada Pemerintahan Presiden Jokowi, Kementerian PUPR, Bina Marga, Birokrasi BPN dan tolitik nasional, Victor memohon perhatian Kepala BPN Jakarta Selatan. (akhir)