Kuasa Hukum, minta Ketua Majelis Hakim bebaskan SAD

  • Whatsapp

Mataram NTB, Berita lima.com. Sidang Kasus Penggeragahan Lahan Bumbangku, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah (Loteng), dengan terdakwa SAD kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Mataram,pada Senin, (7/08).

Sidang ini merupakan yang kesembilan dan dipimpin Ketua Majelis Hakim, Muslih Harsono. Dengan agenda penyampaian pembelaan dari Kuasa Hukum (PH) terdakwa, Muhtar Muhammad Saleh.

Dalam pembelaannya, kuasa hukum terdakwa SAD menyampaikan bantahan terhadap tuntutan yang disampaikan JPU dalam sidang kedelapan yang digelar Kamis pekan kemarin.

“Dalam tuntutan JPU hanya imaginasi. Padahal, kami menuntut fakta, bukan imaginasi,” Imbuhnya.

Tuntutan JPU terhadap SAD tidak diperkuat dengan fakta yang ada. Termasuk tuduhan pembuatan sertifikat palsu asbab kliennya hanya menyodorkan foto copy sertifikat lahan. Selain itu, ia membantah tuduhan JPU yang menyebut bahwa SAD membuat surat palsu.

“Klien saya nggak pernah mengajukan surat itu. Yang ada Nyoman Alit,” timpalnya.

Adapun penguasaan tanah obyek sengketa yang telah dibeli kliennya melalui Notaris Zainul Islam lanjut kuasa hukum, dibayar setelah terlebih dahulu dilakukan cek oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lombok Tengah dan dinyatakan sah. Ini diperkuat dengan surat keterangan BPN Loteng.

“Total 21 bukti yang sudah kami serahkan ke PN Mataram. Termasuk akta jual beli, sertifikat no 268, surat keterangan BPN, tanda terima sertifikat, surat kuasa, sekaligus Izin Bupati,” bebernya.

“Setelah 15 tahun dikuasai klien saya SAD, tanahnya sudah bersih plus dibangun dengan bangunan mewah, baru ada yang ribut-ribut. Bisa saja kami menduga ini permainan oknum mafia,” singgungnya.

Ia menilai bahwa ini tidak hanya menyakiti perasaan SAD dan keluarganya. Tapi juga menyakiti rasa keadilan. Sehingga, ia meminta agar majelis hakim menghapus dakwaan dan membebaskan SAD.

“Apa yang menjadi tuduhan JPU terhadap SAD tidak terbukti. Klien saya tidak bersalah,” desaknya.

Sementara itu, terdakwa SAD didampingi ibunya, Hj. Fatimah Zahrah dan keluarga, mengungkapkan bahwa awal membeli lahan obyek sengketa tersebut, dibutuhkan perjuangan yang sangat berat. Terlebih lagi kala itu, wilayah Mertak tergolong sangat rawan.

Sehingga, dirinya merasa sangat terzalimi, jika apa yang menjadi permintaan kuasa hukumnya tidak dikabulkan majelis hakim. Terlebih barang bukti yang disampaikan kuasa hukum sesuai dengan fakta.

“Sangat berat memperjuangkan tanah itu dulu. Kami berjuang dengan air mata dan darah, tidak hanya materi,” tutupnya.
(blntb)

beritalima.com

Pos terkait