Oleh: Saiful Huda Ems.
Sebenarnya saya agak malas menggunakan kata Kudeta sebagaimana yang pernah AHY katakan, dan yang kemudian digantinya dengan kalimat Gerakan Pengambil-alihan Kepemimpinan (GPK) Partai Demokrat. Sebab Kudeta itu maknanya perebutan kekuasaan pemerintahan dengan paksa (KBBI-pen), padahal kenyataannya tak ada peristiwa itu di Pemerintahan Indonesia. Namun karena kata itu terlanjur diikuti oleh banyak orang, khususnya oleh para loyalis SBY dan AHY, maka baiklah akan saya gunakan kata itu untuk mengcounter opini yang digaungkan oleh kubu Partai Demokrat AHY.
Seperti yang pernah saya katakan berulang-ulang, bahwa Pak Moeldoko sama sekali tidak pernah punya niat ikut campur dalam persoalan internal Partai Demokrat, apalagi untuk mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat. Tetapi keresahan para pendiri dan kader-kader Partai Demokrat yang melihat tingkah laku otoriter SBY dan AHY, menggiring hatinya untuk mendatangi Pak Moeldoko dan menyampaikan keluh kesah dan harapannya pada Pak Moeldoko untuk memimpin Partai Demokrat dan membersihkan Dinasti SBY dari Partai Demokrat.
Keadaan seperti itu nampaknya membuat jiwa Pak Moeldoko terpanggil, sebab bagaimanapun Pak Moeldoko sebagai pejabat dan sebagai pemikir, tentunya juga gerah dengan keadaan Partai Demokrat yang seperti itu. Bicara mengenai Parpol berarti bicara mengenai pilar demokrasi, lah kalau Parpol sebagai pilar demokrasi tatanannya rusak, maka bangsa dan negara inilah yang dirugikan. Kenapa? Karena Negara ini telah mengeluarkan biaya besar untuk menghidupi Parpol. Oleh karena itu keterpanggilan jiwa atau nurani Pak Moeldoko untuk menerima “lamaran” para pendiri dan kader Partai Demokrat agar mau menjadi Ketua Umumnya itu sangatlah wajar, dan tidak bisa dikatakan intervensi orang luar terhadap Partai Demokrat.
Jadi, masuknya Pak Moeldoko ke Partai Demokrat dan didaulatnya beliau oleh para pendiri dan kader Partai Demokrat untuk menjadi Ketua Umumnya, itu selain merupakan hak politiknya Pak Moeldoko, juga merupakan sebuah ikhtiar dari beliau untuk mereformasi Partai Demokrat, mereformasi Parpol sebagai salah satu pilar demokrasi yang selama bertahun-tahun digiring oleh SBY dan AHY untuk “menghabisi” Demokrasi, serta untuk mengukuhkan eksistensi sebuah dinasti, yakni Dinasti SBY ! Ini bagi saya tak lain adalah sebuah Gerakan Pendidikan Politik dan Demokrasi yang dilakukan oleh seorang Kepala Staf Presiden dan Mantan Panglima TNI !.
Maka sangatlah keliru jika kemudian pihak SBY mengatakan apa yang dilakukan oleh Pak Moeldoko itu merupakan Kudeta Demokrasi. Tidak ! Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Pak Moeldoko itu adalah Kudeta Dinasti, dan Kudeta Dinasti tidaklah sama dengan Kudeta Demokrasi. Ada teman juga bertanya ke saya,”Apakah peristiwa ini bukanlah sebuah drama dari Pak SBY dan Pak Moeldoko untuk menaikkan kembali popularitas AHY dan Partai Demokrat? Bukankah pada kenyataannya berbagai survey sekarang menunjukkan trend kenaikan popularitas AHY dan Partai Demokrat?” Saya jawab: Salah…ini benar-benar serius, taruhan reputasinya Pak Moeldoko besar sekali.
Saat ini memang trend AHY naik dan berada di atas Pak Moeldoko, namun apa kalian tidak berpikir, bahwa Pak Moeldoko yang baru muncul saja sudah mampu menggebrak panggung politik nasional, dan namanya menjadi sorotan dan perbincangan banyak media dan orang-orang, apalagi kalau beliau seriusi ini hingga 3 tahun ke depan. Media-media juga sudah mulai menyebut-nyebut nama Pak Moeldoko sebagai Capres di 2024. Bukankah ini sebuah lompatan besar bagi Pak Moeldoko? Sementara itu rakyat kian hari kian bertambah tau, betapa buruknya kepemimpinan SBY dan AHY di Partai Demokrat. Kasus demi kasusnya mulai terungkap, olehnya tak lama lagi SBY dan AHY akan tertimbun dalam sampah sejarah, dan terinjak-injak oleh gerakan pencerahan yang melahirkan pemikiran-pemikiran kritisnya. Siapa itu? Ya bangsa ini, bangsa Indonesia yang melek politik !…(SHE).
15 Maret 2021.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan pemerhati politik.