JAKARTA, Beritalima.com– Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan DPR 24 September mendatang tidak mengatur hukum adat. Misalnya jika ada seorang lelaki menculik gadis di daerahnya, lalu dihukum secara adat, KUHP tidak bisa diterapkan dalam kasus itu.
“Intinya, KUHP tidak bisa mengintervensi hukum adat yang berlaku di masyarakat karena Rancangan KUHP ini dibentuk dengan mengapresiasi kearifan lokal,” kata anggota Komisi III DPR RI, Taufiqulhadi dalam diskusi ‘RUU KUHP dan Kebebasan Pers’ bersama pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (3/9).
Dikatakan, Rancangan KHUP ini dibentuk berdasarkan nilai-nilai yang berkembang di nusantara atau kearifan lokal, yaitu; filsafat Pancasila, Ketuhan Yang Maha Esa, pluralisme dan faktor eksternal terkait Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal.
“Hanya saja, HAM tidak sebebas demokrasi di Barat. Sebab, demokrasi itu justru tak akan berjalan tanpa adanya ketertiban masyarakat. Bahwa setiap UU itu harus menciptkan ketertiban, kalau tidak berarti gagal,” ungkap dia.
Terkait dengan kebebasan pers, DPR tidak mungkin mengekang kebebeasan pers. Demikian pula dengan pasal penghinaan presiden pada pasal 281 KUHP tetap mempertimbangkan faktor-faktor demokrasi dalam konteks Indoensia.
Hanya saja, kata Abdul Fickar Hajar, khusus terkait pers sebaiknya diselesaikan melalui UU Pokok Pers. “Kalau tidak, Rancangan KUHP ini akan menjadi kumpulan hukum pidana secara menyeluruh,” kata dia.
Soal Contempt of Court (CoC) atau penghinaan pada peradilan, enurut Fickar, yang dilarang itu penyiaran langsungnya karena khawatir mempengaruhi saksi-saksi yang lain. Tapi, siaran itu masih bisa dilakukan secara tunda.
Sementara itu, presiden memang harus dikritisi. Apalagi terkait kebijakan yang dibuat. “Kecuali kalau pribadi – personalnya, itu tak boleh, meski berdasarkan delik aduan. Tapi, mungkin perlu pemberatan hukum karena terkait kepala negara,” demikian Abdul Fickar Hajar. (akhir)