JAKARTA, Beritalima.com– Dalam kondisi dunia seperti sekarang, ketahanan energi, pangan dan obat menjadi strategis untuk disegerakan karena berkejaran dengan. Bila salah dalam menerapkan strategi bakal menimbulkan dampak berantai mulai dari krisis ekonomi, politik, sosial hingga krisis kemanusiaan.
Hal itu dikatakan anggota Komisi VI DPR RI, Hj Nevi Zuairina disela-sela , Kunjungan Kerja (Kunker) reses masa persidangan IV Tahun Sidang 2019-2020 awal pekan ini.
“NKRI harus berkejaran dengan waktu untuk ketahanan energi, pangan dan obat dimana sekarang Indonesia masih impor bahan baku obat 90-95 persen. Bangladesh negara kecil dengan jumlah penduduk juga relatif kecil dibanding Indonesia, telah memiliki 21 pabrik Bahan Baku Obat (BBO),” kata Nevi kepada Beritalima.com, Selasa (21/7).
Dengan memperkuat hulu pada bidang obat-obatan, jelas legislator dari Dapil II Provinsi Sumatera Barat tersebut, Indonesia diharapkan mampu menurunkan 40 persen impor Bahan Baku Obat. Karena itu, Kementerian Perindustrian mesti memberikan kontribusi dalam mewujudkan pabrik-pabrik baru bahan baku obat sebagai bukti keberpihakan Pemerintah kepada negara pada bidang kesehatan.
Dengan mandiri dan berdaulat akan dunia kesehatan terutama obat-obatan, bakal mampu menghemat triliunan rupiah. Berdasarakan catatan yang diterima, impor bidang farmasi Indonesia 2017 tercatat mencapai 26.160 ton (US$665,53 juta). Tahun berikutnya meningkat 28.720 ton (US$715,57 juta).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menekankan, permasalahan obat di Indonesia bukan hanya pada kapasitas untuk memproduksi bahan baku farmasi tetapi juga pengadaan bahan baku kimia atau biologis untuk proses sintesis dan juga purifikasi pada saat produksi bahan baku yang masih banyak bergantung kepada impor.
Ketergantungan impor bahan baku obat ini akibat tidak kuatnya industri kimia dasar di Indonesia. Kurangnya daya saing dan tingginya biaya dalam pengembangan industri kimia dasar menjadi faktor penyebab.
Sudah bertahun-tahun bahan farmasi Indonesia 90 persen masih dari impor dengan alasan tidak mudah untuk mengembangkan bahan baku obat karena butuh senyawa kimia yang secara spek harus sintetis dan Spesifikasinya standard Obat.
“Kita terlena pada persoalan bahan baku. Bertahun-tahun perusahaan farmasi kita mendapatkan untung cukup besar seperti kimia farma, 2018 mampu mendapat laba Rp 491,56 miliar. Kini semua perusahaan mengalami anjlok laba bahkan setelah rugi baru sadar bahwa industri hulu obat-obatan sangat penting dalam mempertahankan industri farmasi kita.”
Nevi mempertegas kepada Kementerian Perindustrian, hari-hari kedepan perlu serius berkontribusi BBO di hulu dan juga mengembangkan obat tradisisional dimana Indonesia memiliki aneka ragam hayati sebagai negara tropis yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) sebagai bahan baku. Kemandirian BBO harus menjadi visi kedepan selain kemandirian pangan dan energi.
Diingatkan, jangan sampai kita terus kalah dari negara lain pada persolan obat ini. Sebagai gambaran dia mengatakan, Vaksin covid 19 dari sinovac China telah tiba di Indonesia untuk uji klinis ke 3 di Indonesia. Uji klinis 1 dan 2 telah dilakukan di negara China. Semua berharap uji klinis ini menghasilkan vaksin Covid 19 dengan cepat.
“Bila kita mampu menyediakan bahan baku vaksin ini dan kalau tidak ada halangan awal Januari 2021 akan diproduksi secara besar-besaran untuk masyarakat Indonesia. Kita tidak perlu impor sehingga selain wabah covid 19 ini cepat berlalu, Secara ekonomi Indonesia tetap bertahan,” demikian Hj Nevi Zuairina. (akhir)