KEDIRI, beritalima.com | Babinsa Semampir Serka Samsuri bersama perangkat Kelurahan Semampir yang sehari-hari menekuni sektor pertanian Supanudi, Ketua RW sekaligus petani Marhan Ketua RT yang juga berprofesi petani Marjuni, cangkrukan ditengah persawahan yang terhampar cukup luas di Kelurahan Semampir. rabu (14/8/2019)
Disalah satu “gubuk derita” yang ada ditengah sawah, ketiga petani asal Kelurahan Semampir tersebut menceritakan kondisi terkini sektor pertanian, khususnya tanaman padi.
Dari pemupukan, penggunaan alsintan, tantangan di musim kemarau hingga solusi kelangkaan air, dibahas secara blak-blakan. Pembicaraan keempatnya tidak hanya terfokus pada sektor pertanian saja, tetapi serba serbi Hari Kemerdekaan ke-74 juga dibicarakan.
Pernak pernik Hari Kemerdekaan dibahas, dari pengecatan gapura, pemasangan lampu LED, pemasangan bendera di rumah-rumah, pemasangan umbul-umbul di kanan kiri jalan hingga lomba.
Menurut Marhan, lomba dalam rangka Hari Kemerdekaan sudah mulai diadakan pada 1 Agustus lalu hingga sekarang. Segala jenis lomba dipertandingkan akan berakhir tepat pada 16 Agustus mendatang.
Dari tahun ke tahun, lomba selalu diadakan sebelum tanggal 17 Agustus, hal itu terkait sejarah perjuangan sebelum Proklamasi dikumandangkan. Diibaratkan, perjuangan itu berbentuk lomba, dan semua lomba berakhir pada 16 Agustus.
Marjuni menambahkan, pada 16 Agustus depan, akan diadakan malam Tasyakuran dalam rangka memperingati jelang detik-detik Proklamasi pada 17 Agustus esok harinya. Usai malam tasyakuran, biasanya H+3 akan diadakan panggung gembira sekaligus penyerahan hadiah lomba.
Sementara itu, Supanudi menjelaskan seputar filosofi beberapa lomba Hari Kemerdekaan. Ia menceritakan, lomba makan kerupuk ini mengajarkan, masyarakat jaman dulu tetap bersemangat, meskipun dibawah penjajahan, dan terbiasa menghadapi kesulitan pangan, sandang, papan.
“Kerupuk itu simbol dari segala kesulitan jaman dulu. Lombanya adalah simbol optimis, dan semangat, tercepat. Optimis menang, semangat bertanding, dan tercepat diantara peserta lainnya,” katanya.
Lomba balap karung, diceritakan Supanudi, mbah buyut kita, jaman kolonial dulu menggunakan pakaian dengan bahan karung goni. Lomba balap karung ini merupakan pengibaratan kesulitan yang dialami rakyat jaman dulu.
“Sesulit apapun keadaan ketika masa kemerdekaan, masyarakat harus tetap bersemangat menjalani kehidupan, walaupun harus dengan jatuh bangun hingga terluka,” jelasnya.
Lanjutnya, balap bakiak memiliki arti kerjasama yang dibutuhkan dalam satu kelompok, apapun latarbelakangnya. Apabila kerjasama itu tidak ada, 2 atau 3 pemain, tidak ada 1 orang saja yang terjatuh, tapi semua pasti terjatuh.
Menurutnya, hal itu membuktikan kalau kita satu, tujuan apapun pasti berhasil, tapi kalau kita tidak bersatu, akibatnya kita terpuruk. Sama halnya dulu waktu kita menuju kemerdekaan, semua bersatu, apapun latarbelakangnya.
“Tanpa persatuan, kita tercerai berai, untuk itulah kita harus bersatu, sebagaimana tertulis Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi satu,” sambungnya.
Mengenai umbul-umbul, dijelaskan Supanudi, umbul-umbul berasal dari kata nyumbul dan mumbul. Umbul-umbul diartikan menonjol dan naik keatas, kedua kata ini berhubungan.
“Umbul-umbul adalah simbol kejayaan. Simbol ini asal usulnya dari leluhur kita. Makanya umbul-umbul ini dipasang kanan kiri jalan, diibaratkan jalan menuju kejayaan,” jelasnya.
Bendera berukuran besar yang terpasang diperempatan jalan, menurut Supanudi, hal itu merupakan simbol segala perbedaan menjadi satu. Perempatan diibaratkan perbedaan dari segala penjuru, barat, timur, utara dan selatan. Perbedaan itu pada akhirnya bertemu dalam satu titik persis diantara perempatan jalan. (dodik)