Oleh: Yonge L. V. Sihombing, SE, MBA
Staf Ahli Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara
Kurs (Nilai Tukar) dan Panik, seperti dua sisi mata uang. Ketika kurs mata uang sebuah negara turun, maka akan cenderung membuat pasar panik (panic market). Biasanya jika pasar panik, maka kurs mata uang negara tersebut akan semakin menurun. Para spekulan biasanya akan diuntungkan, dengan kondisi kepanikan pasar, karena para spekulan akan mengambil margin keuntungan dari selisih jual beli mata uang tersebut.
Untuk mengetahui hubungan kurs dan kepanikan tidaklah sulit.
Dalam Teori Kurs Mata Uang, disebutkan bahwa harga mata uang antar negara ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Teori ini tidak berbeda dengan teori harga. Dalam teori harga, disebutkan bahwa harga ditentukan oleh permintaan (demand) pembeli dan penawaran (supply) produsen. Contoh, harga mata uang Rupiah, ditentukan oleh permintaan akan mata uang Rupian dari negara lain, dan penawaran akan mata uang Rupiah oleh Indonesia terhadap mata uang negara lain.
Banyak faktor yang mempengaruhi kurs mata uang, salah satu diantaranya adalah transaksi berjalan antar negara, yang bersumber dari transaksi ekspor impor, investasi, tourism, dll. Namun, ada faktor dalam tiga dekade terakhir ini justru lebih dominan mempengaruhi kurs mata uang, yaitu kepanikan, panik (panic). Kepanikan, yaitu suatu situasi dimana pasar galau, pasar khawatir, pasar tidak menentu, dan pasar tidak percaya (market untrust).
Dalam kurun waktu tiga dekade terakhir ini, para spekulan di pasar uang lebih cenderung mengambil core business pada saat saat terjadi situasi kepanikan pasar. Sama halnya dengan kasus krismon thn 1997, para spekulan justru memanfaatkan situasi kepanikan pasar, akibat dari ketidakstabilan politik, keamananan, dll.
Kasus anjloknya kurs Rupiah thn 1997, diawali oleh faktor faktor ekonomi yg normatif, dan akhirnya dimanfaatkan oleh spekulan, dengan menciptakan opini buruk terhadap Rupiah, dan akhirnya pasar galau, pasar khawatir, dan pasar tidak percaya dengan mata uang Rupiah.
Kondisi ini, justru membuat kurs mata uang Rupiah terkapar pada posisi Rp 17.425 per dollar AS.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, kurs mata uang Rupiah, mulai mengalani gangguan, meski sebenarnya jauh dari tingkat keparahan tahun 1997.
Situasi ini, sebenarnya tidak akan bisa dimanfaatkan oleh para spekulan, melalui teori kepanikannya (panic theory), karena rakyat masih mempercayai pemerintah, dan rakyat menyakini kebijakan pemerintah mampu mengatasinya. Ditambah lagi, pasar tdk galau, pasar tidak panik, dan tidak terkecoh dengan gangguan yang terjadi.
Rakyat melihat, pemerintah bekerja, sehingga pasar juga bekerja. Karena itu, kurs mata uang Rupiah akan tegar dan kuat, karena rakyat dan pasar bekerja secara normal.
Melalui tulisan singkat ini, saya menghimbau kepada pasar, agar tetap tenang, tdk galau, dan tetaplah bekerja, dan bekerja. Isu isu yang dihembuskan utk mengundang kepanikan, mari kita hadapi dengan tenang, tidak panik dan tetaplah bekerja.
Ayo kita kerja, dan kerja. Ayo kita tidak panik, karena kepanikan kita, akan membuat spekulan tumbuh subur. Pemerintah bekerja, rakyat bekerja, dunia usaha bekerja, akademisi melaksanakan proses belajar mengajar, dengan demikian tidak ada ruang bagi spekulan untuk mengembosi mata uang Rupiah.
Mari kita untuk tidak terpancing dengan isu isu yang menakut nakuti pasar, dan rakyat. Jokowi tetap eksis dan bekerja, untuk rakyat. Mari kita dukung program pemerintah yang sedang berjalan dan yang akan dijalankan. Dan, mari kita teruskan program pembangunan ke depan sebagai pintu masuknya Indonesia menjadi 5 besar Kekuatan Ekonomi Dunia 2045 (100 Tahun Indonesia Merdeka, The Big Five Economy Global).