ACEH,Beritalima-Penerbitan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan oleh Presiden RI, mengaburkan tanggung jawab Negara dalam pelayanan sosial bidang kesehatan,hal itu dikatakan Kepala Operasional YLBHI LBH Banda Aceh, Wahyu Pratama, S.H. melalaui Siaran Persnya Kepada Beritalima, Jum’at,25 Januari 2019.
Dalam Pasal 52 ayat (1) huruf (r) mengecualikan bagi Masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan seperti pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiyaan, kekerasan seksual, korban terorisme dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Jika kita lihat dan mebandingkan Pelayanan kesehatan sebelum lahirnya perpres ini, itu sudah sedikit baik, walaupun masih terdapat kekurangan dalam pelayanan kesehatan. Namun dengan lahirnya perpres ini dengan mengecualikan pelayanan kesehatan terhadap beberapa kategori yang seolah-olah Negara tidak mengakui bahwa warga Negaranya yang sakit karena kondisi tertentu tersebut bukanlah warga Negaranya.
“Secara kerangka pemenuhan hak atas kesehatan, satu sisi Negara kita jelas mengakui dan sangat mewajibkan pemenuhan hak warga Negaranya salah satunya terkait dengan hak atas pelayanan kesehatan yang maksimal.
“Pada Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Dalam Pasal 19 ayat (2) sambung Wahyu, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyebutkan “Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan”.
Dan dipertegas dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menyebutkan “Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental” jo. Pasal 12 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menyebutkan “Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang”.
Disisi lain dengan Pemberlakuan pasal 52 Ayat (1) huruf (r) Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan merupakan pengabaian jaminan kesehatan bagi Masyarakat yang kita nilai bisa merusak tatanan kewajiban Negara yang telah disebutkan dan dijamin oleh undang-undang yang lebih tinggi, bagaimana mungkin misalnya korban akibat tindak pidana penganiyaan yang sama sekali tidak menginginkan terjadinya tindakan tersebut terhadap dirinya tetapi negara tidak mau menanggung dan menjamin pelayanan kesehatan terhadap korban tersebut.
Pertanggung jawaban Negara yang harus dipenuhi terhadap hak atas kesehatan setidaknya terdapat 3 bentuk yaitu menghormati hak atas kesehatan, melindungi hak atas kesehatan serta memenuhi hak atas kesehatan.
Pemerintah seharusnya menjunjung tinggi hak atas kesehatan bagi seluruh Masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup yang sehat agar terwujudnya derajat kesehatan Masyarakat yang setinggi-tingginya, dan hal ini juga yang menjadi tanggung jawab Negara demi terwujudnya hak fundamental dalam bidang kesehatan.
Melihat kondisi seperti ini, kita minta pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah Aceh harus mengambil alih tanggung jawab itu. Terutama untuk pemerintah Aceh, kita memiliki peluang besar untuk mengelola sendiri tanggug jawab atas kesehatan. Berdasarkan Pasal 16 Ayat (1) huruf e jo. Pasal 224 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, menjadi dasar kewajiban bagi pemerintah Aceh untuk memberikan atau mengurus penanganan pada bidang kesehatan, berdasarkan hal tersebut Aceh seharusnya dapat mengelola secara mandiri dan kesehatan yang tertuang dalam Dana Otonomi Khusus Aceh sebagaimana di sebut dalam pasal 183 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh.
Pemerintah Aceh bisa tidak mengikuti skema Pemerintah Pusat yang belum menjamin hak atas kesehatan bagi Masyarakat Aceh apalagi dengan berlakunya Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan ini, tegas Wahyu.
Dana otusus kita yang selama ini diberikan oleh Pemerintah pusat bisa memberi peluang untuk Aceh mengurus sendiri, dan pemerintah Aceh sudah pernah melakukannya serta sempat berjalan dengan baik sebelum bergabung dengan jaminan kesehatan Nasional, jadi kalau kondisinya seperti ini, maka pemerintah Aceh segeralah melakukan tindakan untuk menformulasi ulang jaminan kesehatan Masyarakat Aceh, sebelum pengabaian ini berlangsung lama,”(A79)